HARMONISASI LEGISLATIF DAN EKSEKUTIF DALAM PROSES PEMBUATAN
RANCANGAN PERATURAN DAERAH DI KABUPATEN HALMAHERA TENGAH PROVINSI MALUKU UTARA
Udin Latif, S.H
Abstract
Conformity and harmony of the substance of the legislation and compliance with technical elements within the scope of the study penormaannya is very closely related to the fulfillment of material requirements. While the validity of the establishment of a legislation is closely related to the fulfillment of formal requirements. Establishment of legislation is primarily a system. Because in it there are some events that are interwoven in a series inseparable from each other.
A.
PENDAHULUAN
Indonesia
diidealkan dan dicita-citakan oleh the
founding fathers sebagai suatu Negara hukum, UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara
hukum”. Dalam hukum sebagai suatu kesatuan sistem terdapat elemen kelembagaan,
elemen kaidah, dan elemen perilaku para subjek hukum yang menyandang hak dan
kewajiban yang ditentukan oleh norma aturan itu.[1]
Penyelenggaraan kekuasaan negara harus
diatur oleh norma-norma hukum, yang akan membentuk sistem bernegara itu. Sistem
itu harus memberi jaminan agar semua pihak yang terlibat di dalam negara, baik
lembaga-lembaga negara, maupun kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat,
dapat melakukan kontrol atas jalannya sistem penyelenggaraan negara itu.
Kontrol yang kuat, dan memberikan keseimbangan itu, kita harapkan akan memberi
jaminan bahwa sistem akan berjalan sebagaimana kita inginkan.[2]
Sesuai
dengan amanat Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemerintah
Daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada Daerah
diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu
melalui otonomi luas, Daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan
memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan
kekhususan serta potensi dan keanekaragaman Daerah dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Pemerintahan
Daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan
Otonomi Daerah, perlu memperhatikan hubungan antar susunan Pemerintahan dan
antar Pemerintahan Daerah, potensi dan keanekaragaman Daerah. Aspek hubungan
wewenang memperhatikan kekhususan dan keragaman Daerah dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Aspek hubungan keuangan, pelayanan umum,
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil
dan selaras. Di samping itu, perlu diperhatikan pula peluang dan tantangan
dalam persaingan global dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Agar mampu menjalankan perannya tersebut, Daerah diberikan
kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban
menyelenggarakan Otonomi Daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan Pemerintahan
Negara.[3]
Perundang-undangan itu semakin terasa
diperlukan kehadirannya, oleh karena di dalam negara yang berdasarkan atas
hukum modern (verzorgingsstaat),
tujuan utama dari pembentukan Peraturan Perundang-undangan bukan lagi
menciptakan kodifikasi bagi norma-norma dan nilai-nilai kehidupan yang sudah
mengendap dalam masyarakat, akan tetapi tujuan utamanya adalah menciptakan
modifikasi atau perubahan dalam kehidupan masyarakat.
Pemikiran kearah pembentukan Perundang-undangan
seperti dikemukakan di atas bagi Indonesia harus menjadi perhatian pembentuk
Peraturan Perundang-undangan. Ini setidaknya dikarenakan hukum (Peraturan Perundang-undangan)
kita masih terlalu jelas merupakan legitimasi penggunaan kekuasaan dan
pemitosan superioritas bidang ekonomi dalam rangka pembangunan manusia
seutuhnya.
Usaha melahirkan Peraturan Perundang-undangan
yang responsif/populistik tidak hanya menjadi pekerjaan Pemerintah Pusat,
tetapi harus berjalan secara simultan sampai ke Daerah. Dalam konteks ini,
Legislasi (Perundang-undangan) mengandung dua arti; Pertama, Perundang-undangan
merupakan proses pembentukan peraturan-peraturan negara, ditingkat pusat maupun
di tingkat Daerah; Kedua, Perudang-undangan adalah segala peraturan negara yang
merupakan hasil pembentukan Peraturan-peraturan, baik ditingkat pusat maupun
ditingkat Daerah.
Memahami arti dari Peraturan Perundang-undangan
itu, maka norma hukum dapat dibentuk secara tertulis maupun tidak tertulis oleh
lembaga-lembaga yang berwenang membentuknya, sedangkan norma moral, adat, agama
dan lainnya terjadi secara tidak tertulis, tumbuh dan berkembang dari kebiasaa-kebiasaan
yang ada dalam masyarakat. Fakta-fakta kebiasaan yang terjadi, mengenai sesuatu
yang baik dan buruk, yang berulang kali terjadi, sehingga ini selalu sesuai
dengan rasa keadilan dalam masyarakat tersebut, berbeda dengan norma-norma
hukum negara yang terkadang tidak selalu sesuai dengan rasa keadilan/pendapat
masyarakat. Dalam hubungan ini Hans Kelsen mengemukakan, bahwa hukum adalah
termasuk dalam sistem norma yang dinamik (Nomodynamics),
oleh karenanya menurut A.Hamid S. Attamimi, hukum itu selalu dibentuk dan
dihapus oleh lembaga-lembaga atau otoritas yang berwenang membentuknya,
sehingga dalam hal ini tidak kita lihat dari segi isi norma tersebut, tetapi
kita melihatnya dari segi berlakunya atau pembentukannya. Hukum itu adalah sah
apabila dibuat oleh lembaga atau otoritas yang berwenang membentuknya dan
berdasarkan norma yang lebih tinggi, sehingga dalam hal ini norma yang lebih
rendah (inferior) dapat dibentuk oleh
norma yang lebih tinggi (superior),
dan hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis membentuk suatu hirarkhi.
Berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang sudah diamandemen, di Indonesia kekuasaan penyelenggaraan
negara tidak lagi terpusat pada Presiden, ini setidaknya ditandai dengan tidak
lagi kekuasaan membentuk Undang-undang dipegang Presiden, tetapi kekuasaan itu
dipegang oleh DPR. Dalam hal ini Presiden hanya kebagian mengajukan Rancangan Undang-undang.
Demikian juga halnya di Daerah, kekuasaan membentuk Peraturan Perundang-undangan
berada ditangan DPRD, Kepala Daerah hanya kebagian mengajukan Rancangan Peraturan
Daerah.
Peraturan Daerah (Perda) adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama
Kepala Daerah (vide Pasal 1 angka 7 UU No. 10 Tahun 2004). Melalui amandemen
UUD 1945 yang kedua, Perda mendapatkan landasan konstitusionalnya di dalam
konstitusi yang keberadaannya digunakan untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan (vide Pasal 18 ayat (6) UUD 1945). Selanjutnya Pasal 12 UU No. 10
Tahun 2004 menggariskan materi muatan Perda adalah seluruh materi muatan dalam
rangka:
a. penyelenggaraan otonomi dan
tugas pembantuan;
b. menampung
kondisi khusus daerah; serta
c. penjabaran
lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dalam pendekatan Stufenbau des Recht yang
diajarkan Hans Kelsen, hukum positif (Peraturan) dikonstruksi berjenjang dan
berlapis-lapis, Peraturan yang rendah bersumber dari dan tidak boleh
bertentangan dengan Peraturan yang lebih tinggi. Teori tersebutlah kemudian dalam
ilmu hukum turun menjadi asas “lex
superior derogat lex inferiori.” Dalam nalar lain, Perda dianggap sebagai Peraturan
yang paling dekat untuk mengagregasi nilai-nilai masyarakat di Daerah. Peluang
ini terbuka karena Perda dapat dimuati dengan nilai-nilai yang diidentifikasi
sebagai kondisi khusus Daerah. Oleh karena itulah banyak Perda yang materi muatannya
mengatur tentang Pemerintahan terendah yang bercorak lokal seperti Nagari di
Sumatera Barat, Kampong di Aceh, atau yang terkait pengelolaan sumberdaya alam
seperti Perda pengelolaan hutan berbasis masyarakat, hutan rakyat, pertambangan
rakyat dan lain sebagainya.
Disamping itu, posisi Perda yang terbuka
acap juga menjadi instrumen Pemerintah Daerah untuk meningkatkan pendapatan
asli daerah melalui pungutan yang timbul dari Perda pajak daerah atau Perda
retribusi daerah. Perda jenis terakhir inilah yang paling mendominasi jumlah
Perda sepanjang otonomi daerah yang bergulir sejak berlakunya UU No. 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan UU No. 32 Tahun
2004. Dalam Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 diurutkan tingkatan Peraturan Perundangan-undangan
mulai dari, UUD, UU/Perpu, PP, Perpres, Perda. Selanjutnya Perda terdiri dari:
Perda Provinsi, Perda Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari uraian latar belakang masalah
tersebut di atas, maka dapat di rumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Sudah
terjalinkah hubungan yang harmonis
antara Legislatif dan Eksekutif dalam proses pembuatan Rancangan Peraturan
Daerah di Kabupaten Halmahera Tengah?
2. Apakah
dalam proses pembuatan Rancangan Peraturan Daerah telah melalui tahapan serta
mekanisme atau tata urutan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku?
C. PEMBAHASAN
1. Undang-undang formal (Formell Gesetz)
Kelompok norma-norma hukum yang berada di
bawah aturan dasar Negara/aturan pokok Negara (staatsgrundgesetz) adalah formell
gesetz atau secara harfiah diterjemahkan dengan Undang-undang ‘formal’.
Berbeda dengan kelompok-kelompok norma di atasnya, yaitu norma dasar negara dan
aturan dasar negara/aturan pokok negara, maka norma-norma dalam suatu
undang-undang sudah merupakan norma hukum yang lebih konkrit dan terinci, serta
sudah dapat langsung berlaku di dalam masyarakat. Norma hukum dalam
undang-undang ini tidak saja norma hukum yang bersifat tunggal, tetapi
norma-norma hukum itu dapat merupakan norma hukum yang berpasangan, sehingga
terdapat norma hukum sekunder disamping norma hukum primernya, dengan demikian
bersifat sanksi, baik itu sanksi pidana maupun sanksi pemaksa. Selain itu,
undang-undang (wet/gesetz/act) ini
berbeda dengan peraturan-peraturan lainnya, oleh karena suatu Undang-undang
merupakan norma hukum yang selalu di bentuk oleh suatu lembaga legislatif.[4]
Menurut Undang-undang Dasar 1945, dalam sistem
Perundang-undangan di Indonesia hanya dikenal istilah Undang-undang saja, yang
dapat di persamakan dengan ‘wet’
yaitu ‘formele wet’, sebagai suatu
keputusan yang dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat,
atau setelah perubahan UUD 1945 dibentuk oleh Dewan Perwalan Rakyat dengan
persetujuan bersama Presiden, dan disahkan oleh Presiden.
Peraturan Perundang-undangan lainnya tidak
dapat disebut dengan Undang-undang dalam arti materiil (wet in materiele zin) oleh Peraturan Perundang-undangan lainnya
dibentuk oleh lembaga-lembaga lain di samping Dewan Perwakilan Rakyat dan
Presiden. Dalam sistem Perundang-undangan di Indonesia hanya dikenal satu nama
jenis Undang-undang, yaitu suatu keputusan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan
Rakyat, dengan persetujuan bersama Presiden dan disahkan oleh Presiden. Selain
itu tidak ada Undang-undang yang dibentuk oleh lembaga lainnya baik di Pusat
maupun di Daerah, sehingga Indonesia tidak ada istilah Undang-undang Pusat
ataupun Undang-undang lokal.[5]
2. Desentralisasi dan Otonomi
Daerah
Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan
yang secara ketatanegaraan baru diangkat derajatnya sebagai bagian dari tata
susunan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia berdasarkan TAP. MPR No
III/MPR/1999. Sebelumnya, Peraturan Daerah ditempatkan sebagai peraturan
lainnya yang berkedudukan lebih rendah dari Instruksi Menteri yang sesungguhnya
tidak termasuk ke dalam apa yang disebut dengan peraturan perundang-undangan, akan
tetapi dalam praktiknya Peraturan Daerah harus tunduk pada instruksi Menteri,
dimana karena dibuat oleh Menteri yang dipandang dalam kedudukannya sebagai
Pembantu Presiden.
Kewenangan Pembentukan Peraturan Daerah
sebelum lahirnya TAP MPR dan diamandemennya UUD 1945 dipandang sebagai suatu
pemberian kewenangan (atribusian) dari UU Pemerintahan Daerah dan dilain pihak
pembentukan suatu Peraturan Daerah dapat juga merupakan pelimpahan wewenang
(delegasi) dari suatu Keputusan Presiden.
Keberadaan Peraturan Daerah dalam UUD 1945
sebelum diamandemen memang tidak dikenal, sehingga Peraturan Daerah termarjinalkan
dalam tata susunan Peraturan Perundang-undangan Indonesia. Tidak demikian
halnya dengan setelah UUD 1945 diamandemen, eksistensi Peraturan Daerah sudah
dikukuhkan secara konsitusional sebagaimana dituangkan dalam Pasal 18 ayat (6)
yang selengkapnya berbunyi; Pemerintahan Daerah berhak menetapkan peraturan
daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
Dengan demikian
Pemerintahan Daerah menetapkan Peraturan Daerah bukanlah lagi dikarenakan
adanya perintah dari UU yang mengatur Pemerintahan Daerah, melainkan merupakan
amanat dari konstitusi. Artinya, suatu UU yang dibentuk mengenai susunan dan
tata cara penyelenggaraan Pemerintahan Daerah harus memberikan hak kepada
Pemerintahan Daerah untuk menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan lain,
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan Peraturan Perundang-undangan
yang lebih tinggi. Namun demikian, dalam prakteknya dalam pembentukan Peraturan
Daerah, Pemerintahan Daerah belum memahami hak konstitusional yang diberikan
UUD 1945. Dalam melakukan pembentukan Peraturan Daerah dalam perspektif
norma hukum yang dinamik dan hirakhis itu saja misalnya, maka pembentukan suatu
Peraturan Perundang-undangan negara bukanlah suatu pekerjaan mudah. Pembentuk
Peraturan Perundang-undangan dituntut memiliki pengetahuan yang cukup, sehingga
produk Perundang-undangan yang dihasilkan menjadi responsif dan
populistik. [6]
Desentralisasi menurut Undang-undang No. 32
Tahun 2004 adalah penyerahan wewenang Pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus urusan Pemerintahan dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan di dalam pasal 1 Ayat (5) menyebutkan
bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan. [7]
Dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar 1945, Pemerintahan Daerah yang
mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan dan tugas pembantuan,
diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan,
pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya
saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Bahwa efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah perlu ditingkatkan dengan lebih
memperhatikan aspek-aspek hubungan antarsusunan Pemerintahan dan antar
Pemerintahan Daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan
persaingan global, dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada
daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi
daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan Pemerintahan Negara.[8]
Otonomi
daerah secara garis besar dapat dikatakan bahwa hadirnya satuan pemerintahan
teritorial yang lebih kecil dalam wilayah Negara Kesatuan Indonesia, yaitu
Pemerintah Daerah yang didalamnya mempunyai kewenangan untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya, dapat dijelaskan dengan beberapa alasan berikut:
1. Sebagai perwujudan fungsi dan
peranan Negara modern, yang lebih menekankan upaya memajukan kesejahteraan umum
(wefare state).
2. Hadirnya otonomi daerah dapat pula
didekati dari perspektif politik. Negara sebagai organisasi kekuasaan, yang di
dalamnya terdapat lingkungan kekuasaan-kekuasaan, baik pada tingkat supra
struktur maupun infrastruktur, cenderung menyalahgunakan kekuasaan.
3. Dari perspektif manajemen Pemerintahan
Negara modern, adanya kewenangan yang diberikan kepada Daerah, yaitu berupa
keleluasaan dan kemandirian untuk mengatur dan mengurus urusan Pemerintahannya,
merupakan perwujudan dari adanya tuntutan efisiensi dan efektifitas pelayanan
kepada masyarakat demi mewujudkan kesejahteraan umum. [9]
Secara teoritis, pembagian kekuasaan
menurut bentuk Negara mengkategorikan bahwa negara konfederasi menganut paham
yang sangat desentralistik. Sedangkan negara unitaris menganut paham yang
sangat sentralistik. Negara Kesatuan RI, menurut Soerya, tidak sepenuhnya
menganut paham keduanya karena dalam UUD 1945 khususnya Pasal 18 ayat (1)
disebutkan bahwa Negara Kesatuan RI dibagi atas Daerah-daerah Propinsi dan
Daerah Propinsi itu dibagi atas Daerah Kabupaten dan Kota, yang di tiap-tiap
wilayah tersebut terdapat Pemerintahan Daerah yang diatur dengan Undang-undang.
Pemerintah Daerah Propinsi, Kabupaten dan
Kota itu mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan. Hal ini menunjukkan dalam UUD 1945, sentralistik bukanlah
sebuah pilihan dan kecenderungan kepada desentralisasi menjadi pillihan yang
tak dapat dihindari dalam NKRI. Karena, secara geografis, wilayah Indonesia
adalah wilayah kepulauan dan sangat plural. UU No. 5 Tahun 1974 tentang
Pemerintahan di Daerah condong pada titik sentralistik. Sedangkan UU No. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah justru condong pada titik
desentralistik. Dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah nampaknya
berupaya pada titik keseimbangan antara sentralisasi dan desentralisasi.
Yang lebih penting, di tengah-tengah kompetisi
global saat ini, justru Daerah-daerah harus kuat supaya negara, secara
nasional, kokoh. Lebih baik lagi bila bangsa Indonesia mampu memperkokoh nasionalisme
dari hasil resultant pengaruh global maupun kedaerahan. Contoh analoginya, bila
bahasa Indonesia ingin kuat, maka basis bahasa daerah juga harus kuat, sebab
Indonesia menghadapi ancaman bahasa asing.
Sama halnya, perlu disadari bersama bahwa Pemerintahan Daerah dan
otonomi daerah itu sejatinya harus kuat. Tapi, pihak Pemerintah Daerah dan DPRD
juga harus menyadari bahwa otonomi daerah itu tidak identik dengan otonomi Pemerintah
Daerah atau Pejabat Daerah. Otonomi daerah harus dilihat dalam konteks yang di
dalamnya ada otonomi masyarakat daerah yang harus diberi hak berdaulat untuk
otonom. Pemerintahan Daerah hanyalah refleksi dari kedaulatan dan otonomi
masyarakat daerah itu. Masyarakat diurus oleh pengurus dan pejabat di Pemerintahan
Daerah.
Terkait dengan eksistensi DPRD, banyak
yang berpendapat bahwa DPRD bukanlah lembaga legislatif melainkan bagian dari Pemerintah.
Padahal, dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sudah jelas
dirumuskan bahwa DPRD dengan Kepala Daerah mempunyai mekanisme hubungan yang
sama seperti halnya DPR dengan Kepala Negara.
Selain itu, perlu ditata pula
institusionalitas DPRD melalui terciptanya visi kelembagaan untuk membangun capacity
building, yang nantinya akan diteruskan oleh para pengganti orang-orang
yang kini sedang menjabat. Untuk itu, diperlukan adanya blue print
kelembagaan untuk menentukan fungsi lembaga untuk 20 hingga 40 tahun mendatang.
Sebab, bila tak dilakukan, dari tahun ke tahun, tak akan ada perubahan kualitas
organisasi kenegaraan.[10]
3. Reformulasi hubungan DPRD-Kepala Daerah
Dalam sejarah administrasi publik pernah
dipersoalkan pemisahan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif secara riil,
yang dikenal dengan “dikotomi administrasi politik” tetapi ternyata dunia
legislatif dan eksekutif bukan dunia dikotomis. Meskipun memiliki fungsi yang
berbeda tetapi sifat dari fungsi tersebut sangat komplementer atau saling
mengisi. Keterkaitan antara keduanya secara tegas dirumuskan dalam UU No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 19 Ayat (2) bahwa keduanya sebagai mitra
sejajar yang sama-sama melakukan tugas sebagai penyelenggara Pemerintahan Daerah.
Itu berarti bahwa salah satu dari keduanya tidak boleh ada yang
disubordinatkan. Tidak ada peran yang bisa disubstitusikan oleh lembaga lain.
Oleh karena itu, ada beberapa hal yang sepatutnya diteropong untuk diketahui
bersama antara keduanya dalam membangun hubungan yang ideal dan harmonis yakni:
1. legitimasi
kekuasaan, kedua lembaga (Legislatif dan Eksekutif) ini sama-sama mendapat
legitimasi rakyat, keduanya dipilih rakyat secara langsung.
2. Masyarakat
di daerah, bagi eksekutif, masyarakat adalah pihak yang harus dilayani,
dipuaskan dengan berbagai kebijakan populis yang dibuat bersama legislatif.
Sedangkan bagi DPRD yang berasal dari parpol, masyarakat adalah konstituen dan
basis politik yang sangat mempengaruhi evolusi partai yang berjalan linear
dengan kepentingan individunya. Masyarakat baik bagi parpol maupun Pemerintah Daerah
adalah sumber legitimasi, dan mandat politik atau kekuasaan.
3. Posisi
politik masing-masing, baik DPRD maupun Pemerintah Daerah merupakan mitra
sejajar dan penyelenggara Pemerintahan di Daerah (Pasal 19 UU No. 32 Tahun
2004). Peran tersebut harus diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat.
4. Saling
memahami tugas, wewenang, kewajiban dan bahkan larangan yang sudah digariskan
UU Pemerintahan Daerah. Kedua lembaga berhak untuk sama-sama membuat Perda
(Pasal 140 ayat 1 UU No. 32 Tahun 2004). Tetapi pada saat pembahasan tentang Perda
yang substansinya sama, maka yang harus di dahulukan adalah Perda yang dibuat
oleh legislatif, sedangkan Perda yang dibuat oleh eksekutif sebagai bahan
perbandingan (Pasal 140 Ayat 2 UU No. 32 Tahun 2004). [11]
Kondisi tidak harmonis (disharmoni) dalam
bidang Peraturan Perundang-undangan sangat besar potensinya. Hal ini terjadi
karena begitu banyaknya Peraturan Perundang-undangan di negara kita. Untuk
Undang-undang saja bisa dilihat pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Sebagaimana diketahui bahwa jumlah program legislasi yang diajukan, setiap
tahun terus bertambah, Ternyata, perkembangan hukum dan kebutuhan hukum
masyarakat berubah sesuai dengan perkembangan zaman itu sendiri. Pasal 17 ayat
(3) Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(UU P3) menentukan bahwa “Dalam keadaan tertentu, Dewan Perwakilan Rakyat atau
Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang-undang di luar Program Legislasi
Nasional (Prolegnas).” Ketentuan ini kemudian digunakan oleh DPR-RI dan
Pemerintah untuk mengembangkan keinginannya mengatur sesuatu dalam Undang-undang
di luar Prolegnas. Apabila kita cermati, usulan-usulan RUU tersebut secara
jujur sebetulnya tidak perlu selalu dalam bentuk Undang-undang, tetapi dapat
berupa Peraturan Perundang-undangan lain di bawah Undang-undang atau bahkan
cukup dengan kebijakan saja. Dari keinginan tersebut, ternyata membawa dampak
yang sangat luas terhadap pencapaian atau target yang semula telah disepakati
yang berakibat terbengkelainya Prolegnas itu sendiri.
Selain itu, sistem hukum yang berlaku di
negara kita juga paling tidak ada tiga, yaitu sistem hukum adat, hukum Islam,
dan hukum barat. Dengan tiga sistem hukum yang masih berlaku dan dihormati di
negara kita, maka potensi untuk terjadi ketidakharmonisan sangat mungkin.
Kemudian, lembaga/instansi yang berwenang membentuk Peraturan Perundang-undangan
juga banyak sekali, hitung saja berapa Departemen yang ada, berapa Kementerian
Negara yang ada, berapa lembaga Pemerintah nondepartemen yang ada, dan berapa
Komisi/Dewan yang ada. Ditambah lagi, berapa Provinsi dan berapa Kabupaten/Kota
terkait dengan pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Daerah.
Upaya pengharmonisasian Peraturan Perundang-undangan
dilakukan, selain untuk memenuhi ketentuan Pasal 18 ayat (2) Undang-undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, paling
tidak ada 2 alasan lain yang perlu dipertimbangkan, yaitu:
1. Peraturan Perundang-undangan merupakan bagian integral
dari sistem hukum. Peraturan Perundang-undangan sebagai suatu sistem atau sub
sistem dari sistem yang lebih besar tentu harus memenuhi ciri-ciri antara lain
ada saling keterkaitan dan saling tergantung dan merupakan satu kebulatan
yang utuh, di samping ciri-ciri lainnya. Dalam sistem Peraturan Perundang-undangan
yang tersusun secara hierarkis, ciri-ciri tersebut dapat diketahui dari
ketentuan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 7ayat (5) Undang undang Nomor 10 Tahun 2004.
Pasa l2 menentukan bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala
sumber hukum Negara, sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan
tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Kemudian
Pasal 3 ayat (1) menentukan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 merupakan hukum dasar Peraturan Perundang-undangan. Penjelasan Pasal 3 ayat
(1) menentukan bahwa Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang memuat hukum dasar negara merupakan sumber hukum bagi pembentukan
Peraturan Perudang-undangan di bawah Undang-undang Dasar. Selanjutnya Pasal 7
ayat (5) menentukan kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai
dengan hierarki Peraturan Perundang-undangan.
Dari ketentuan di atas jelas
bagaimana saling keterkaitan dan saling ketergantungan satu Peraturan
Perundang-undangan dengan Peraturan Perundang-undangan lain yang merupakan satu
kebulatan yang utuh. Nilai-nilai Pancasila sebagai sumber dari segala sumber
hukum negara harus mengalir dalam materi muatan Peraturan Perundang-undangan.
Demikian pula Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
merupakan sumber hukum bagi pembentukan Peraturan Perundang-undangan di bawah
Undang-undang Dasar. Pengharmonisasian dilakukan untuk menjaga keselarasan,
kemantapan, dan kebulatan konsepsi Peraturan Perundang-undangan sebagai sistem
agar Peraturan Perundang-undangan berfungsi secara efektif.
2. Menjamin proses Pembentukan Peraturan
perundang-undangan dilakukan secara taat asas demi kepastian hukum dan dalam
rangka membentuk Peraturan Perundang-undangan yang baik yang memenuhi berbagai
persyaratan yang berkaitan dengan sistem, asas, tata cara penyampaian dan
pembahasan, teknis penyusunan serta pemberlakuannya dengan membuka akses kepada
masyarakat untuk berpartisipasi. Peraturan Perundang-undangan sebagai hukum
tertulis yang sangat penting dalam sistem hukum kita dan mengikat publik
haruslah mengandung kepastian, sehingga akibat dari tindakan tertentu yang
sesuai atau yang bertentangan dengan hukum dapat diprediksi. Dengan demikian
Peraturan Perundang-undangan dapat menjadi sarana yang penting untuk menjaga
hubungan yang sinergis antarwarga masyarakat dan antara warga masyarakat dengan
Pemerintah untuk mewujudkan tujuan bersama secara dinamis, tetapi tertib dan
teratur.[12]
Ide-gagasan kunci dalam konsep
konstitusionalisme adalah pembatasan terhadap kekuasaan. Caranya bisa sangat
beragam yang bergantung pada bagaimana kekuatan-kekuatan politik yang ada mampu
merumuskan dan melembagakannya di dalam sebuah konstitusi. Dalam hubungan ini,
kita mengenal dua pemikir besar, John Locke, yang berkebangsaan Inggris, dan
Montesquieu, yang berkebangsaan Perancis. Keduanya sama-sama menolak praktek
penyelenggaraan pemerintahan monarki absolut di negeri mereka masing-masing.
John Locke tersohor dengan konsep
pembagian kekuasaan, sedangkan Montesquieu tersohor dengan konsep pemisahan
kekuasaan. Jika dicermati secara sungguh-sungguh, konsep yang sangat sering
disalah-mengerti oleh berbagai kalangan adalah konsep pemisahan kekuasaan dari
Montesqieu. Konsep yang sering didengung-dengungkan oleh beberapa kalangan di
berbagai kesempatan adalah tiga cabang kekuasaan: Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif.
Ketiganya sering dipandang secara terpisah satu dengan lainnya secara rigid.
Ada juga mengatakan tentang terjadinya intervensi
ketika satu cabang kekuasaan membicarakan sesuatu hal yang merupakan
hak dari cabang kekuasaan lainnya. Rujukan yang selalu digunakan oleh
pihak-pihak yang berpendapat demikian adalah Amerika Serikat.
Sebenarnya, sejak awal, para pembuat
konstitusi Amerika Serikat sama sekali tidak bermaksud untuk memisahkan ketiga
kekuasaan tersebut secara rigid. Kenyataannya, kekuasaan dari ketiga cabang
kekuasaan tersebut dirumuskan dan dialokasikan secara tumpang tindih. Karena
itu, Presiden, misalnya, diberi hak yang secara konsepsional sebenarnya
merupakan wewenang yudikatif. Contoh, hak seorang Presiden yang memberi
pengampunan. Selain itu, Presiden juga memiliki kekuasaan legislatif. Contoh,
Presiden membuat Rancangan Undang-undang. Sebaliknya, Presiden diberi hak untuk
menolak menandatangani Undang-undang yang telah dibuat dan dikaji oleh House
of Representative. Apabila Presiden menolak menandatangani satu Undang-undang
yang telah diputuskan oleh House of Representative, pengambilan
keputusan terhadap Undang-undang yang dikembalikan oleh Presiden tersebut harus
melibatkan Senat.
Sebaliknya, legislatif memiliki tugas yang
secara konsepsional merupakan hak Presiden. Contoh, senat memberi pertimbangan
dan persetujuan kepada Presiden dalam hal Presiden hendak mengangkat seorang
Duta Besar. Demikian juga, Presiden harus meminta persetujuan Senat, apabila
Presiden hendak menyatakan perang. Hal ini menunjukan bahwa pemisahan kekuasaan
di Amerika Serikat tidak bersifat rigid.
Harus diakui pula bahwa, dilihat dari
sudut paham konstitusionalisme, hubungan antara eksekutif dan legislatif
bukanlah semata-mata hubungan yang bersifat hubungan hukum, melainkan juga
merupakan hubungan politik. Hubungan hukum bersifat imperatif, sedangkan
hubungan politik bersifat saling mempengaruhi dan tawar-menawar. Inilah letak
urgennya keterampilan politik dari masing-masing pihak untuk digunakan. Bobot
hubungan ini merupakan cerminan dari peran kedua belah pihak.
Peran legislatif, dalam kenyataannya,
tidak selalu ditentukan oleh lengkap-tidaknya pengaturan tentang hak, tugas dan
wewenang dari anggota legislatif. Kebudayaan politik, yang sesungguhnya
merupakan ruh dari budaya hukum, justru sangat berpengaruh dalam menentukan
postur hubungan antara legislatif dan eksekutif. Sungguhpun demikian, kedua
soal ini, tidak dapat disatukan begitu saja. Politik merupakan hal yang sangat
berbeda dengan hukum. Konsekuensi-konsekuensinya pun berbeda. Karena politik memiliki
perbedaan dengan hukum. Politik hanya berkaitan dengan deskripsi, kemampuan, dan
ketepatan analisis terhadap fenomena-fenomena politik, sedangkan hukum
jelas-jelas memiliki patokan norma dan kaidah. [13]
Pemerintah Daerah yang didalamnya mempunyai kewenangan untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, dan hubungan antara DPRD dan
Pemerintah Daerah kini bersifat kemitraan. meskipun masih banyak
kekurangan dan kelemahan.
Antara
Lembaga Legislatif dan Eksekutif keduanya adalah mitra kerja, yang apabila
suatu Ranperda itu di usulkan oleh salah satu Lembaga, baik dari Legislatif maupun
Eksekutif lalu dibahas bersama untuk
disahkan sebagai Perda.
Berdasarkan
hasil wawancara dengan Wakil Bupati Halmahera Tengah, dinyatakan bahwa selama
masa dua periode, Ranperda yang dibahas oleh Eksekutif bersama dengan DPRD
Kabupaten Halmahera Tengah adalah Ranperda yang diprakarsai oleh Lembaga Eksekutif,
sementara Lembaga Legislatif belum pernah menggunakan hak Inisiatifnya untuk
mengajukan Ranperda. [14]
Menurut Ketua DPRD Kabupaten Halmahera Tengah saat menanggapi tentang
pernyataan dari Wakil Bupati di atas, Ketua DPRD menyatakan bahwa ini
diakibatkan oleh karena masih kurangnya perangkat pendukung yang dimiliki oleh
DPRD Kabupaten Halmahera Tengah, misalnya di DPRD Kabupaten Halmahera Tengah
belum ada sebuah Badan Legislasi DPRD, selain itu juga kondisi geografis yang mengakibatkan DPRD sangat
kesulitan untuk melakukan penjaringan aspirasi masyarakat (Asmara), sehingga
seolah DPRD tidak mampu untuk mengakomodasi seluruh keinginan masyarakat Kabupaten
Halmahera Tengah.
Selain
itu kendala yang lainnya adalah setiap Ranperda yang dibuat harus disesuaikan
dengan ketentuan yang lebih tinggi berdasarkan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
Menurut pandangan Ketua DPRD Kabupaten Halmahera Tengah, apabila ada Perda-perda
yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, misalnya tentang retribusi,
sumbangan pihak ketiga, ini kemudian bertentangan dengan Peraturan yang lebih
tinggi, inilah yang menjadi Kendala bagi DPRD. Oleh karena itu sering dikatakan
bahwa, sumber daya alam (SDA) milik kita sementara pengelolaannya dilakukan
oleh pihak lain dan pemanfaatannya untuk Daerah sangat kecil, salah satu contoh
adalah PT. Weda By Nickel yang saat ini sedang beroperasi di Desa Lelilef.
SDA milik masyarakat Halmahera Tengah, pengelolaannya oleh PMA, dan Daerah
belum mendapatkan sesuatu hingga saat ini. Disaat DPRD Kabupaten Halmahera
Tengah mengajukan Ranperda tentang sumbangan pihak ketiga ke Pemerintah
Provinsi Maluku Utara untuk dievaluasi tapi dibatalkan, inilah problem yang
dialami oleh DPRD Kabupaten Halmahera Tengah.[15]
Transisi di tingkat daerah
seharusnya diprakarsai oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) melaui
penyusunan Peraturan Daerah yang berorientasi terutama untuk melakukan
perubahan terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah yang transparan,
akuntabel dan partisipatif serta melindungi potensi dan kearifan lokal (Local
Wisdom) yang ada di daerahnya. Berdasarkan UU No. 22 Tahun 2003 tentang
Susunan dan Kedudukan MPR/DPR/DPD dan DPRD dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah telah memberikan kekuasaan membuat Perda kepada DPRD.
Namun pergeseran kekuasan Legislasi
di Daerah dari Eksekutif kepada Legislatif tersebut belum disertai dengan
peningkatan produktifitas DPRD dalam memproduk Perda yang berasal dari
inisiatif DPRD, lalu dimana letak urgensi dari pergeseran tersebut kalau
pergeseran itu tidak dibarengi dengan peningkatan baik kualitas maupun
kuantitas Perda dari inisiatif DPRD.[16]
Kelemahan DPRD tersebut terlihat
dari penggunaaan hak-hak DPRD dalam melaksanakan fungsi Legislatifnya yaitu:
Hak Penyelidikan, Hak Mengajukan pertanyaan, dan Hak Inisiatif. Dari hasil
wawancara dengan beberapa informan, dan studi dokumentasi, penggunaan hak-hak
inisiatif DPRD tersebut belum pernah digunakan oleh DPRD.
Kondisi ideal terwujud manakala hubungan Eksekutif
dan Legislatif Daerah terbangun pada pola hubungan searah positif. Dalam
membangun pola hubungan ini, keduanya tidak semata-mata didasarkan atas sistem
atau Perundang-undangan yang berlaku, tetapi juga didasarkan pada konsensus-konsensus
etis dan nilai-nilai budaya lokal. Untuk menjamin bahwa pola hubungan keduanya
terbangun searah positif, maka ruang publik (Public sphere) harus terbangun secara luas. Public sphere akan memberikan ruang yang cukup bagi interaksi
antara Pemerintah Daerah dan DPRD dan interaksi antara masyarakat dengan
Pemerintah Daerah dan DPRD dalam menggunakan fungsi kontrol terhadap kinerja
Pemerintah Daerah dan DPRD.
Hubungan Eksekutif dan Legislatif dalam
Formulasi Kebijakan Publik Aktifitas formulasi kebijakan publik secara prosesual
digarap dalam paduan jejaring kerja (network)
antara lembaga legislatif dan eksekutif yang saling berbagi kewenangan (yurisdiksi).
Interaksi antara Legislatif dan Eksekutif dalam aktifitas terpadu. Secara
teoritik, dalam formatnya legislatif berorientasi pada terjaganya hak-hak
politik rakyat, sementara eksekutif berorientasi pada kesejahteraan rakyat.
Dalam mencapai kesejahteraan rakyat tidak bisa menafikan hak-hak politik rakyat,
karena justru kesejahteraan rakyat diukur dari tidak terabaikannya hak-hak
politik rakyat. Dalam perspektif ini, ketersediaan ruang publik sebagai wahana
penyampaian aspirasi masyarakat menjadi sangat penting dalam rangka memberikan
kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk dapat menyampaikan
aspirasinya dengan mudah.
Banyak kebijakan yang
dibuat dalam bentuk Perda, karena secara umum Undang-undang maupun Peraturan
yang dibuat masih belum jelas sehingga ketentuan lebih lanjut di atur di dalam
Perda, hal ini karena Negara Indonesia adalah negara yang plural dan terdiri
dari berbagai macam kultur dan budaya sehingga dalam membuat Perda pun harus
disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik daerah masing-masing.[17]
Desentralisasi
memiliki relasi kuat dengan demokrasi didasarkan pada asumsi bahwa
desentralisasi dapat membuka ruang yang lebih besar kepada masyarakat untuk
terlibat di dalam proses pembuatan keputusan-keputusan politik di Daerah. Hal
ini berkaitan dengan realitas bahwa setelah ada desentralisasi, lembaga-lembaga
yang memiliki otoritas di dalam proses pembuatan dan implementasi kebijakan
publik itu lebih dekat denga rakyat. Kedekatan itu juga yang memungkinkan
rakyat melakukan kontrol terhadap Pemerintah Daerah. Dengan demikian Pemerintah
Daerah diharapkan memiliki akuntabilitas yang lebih besar lagi.
Menurut
Bagir Manan, kehadiran satuan Pemerintahan otonom dalam kaitannya dengan
demokrasi akan menampakkan hal-hal berikut:
1. Secara
umum, satuan pemerintahan otonom tersebut akan lebih mencerminkan cita
demokrasi daripada sentralisasi;
2. Satuan
pemerintahan otonom dapat dipandang sebagai esensi sistem demokrasi;
3. Satuan
pemerintah otonom dibutuhkan untuk mewujudkan prinsip kebebasan dalam
penyelenggaraan Pemerintahan; dan
4. Satuan
Pemerintahan otonom dibentuk dalam rangka memberikan pelayanan yang
sebaik-baiknya terhadap masyarakat yang mempunyai kebutuhan dan tuntutan yang
berbeda-beda.[18]
Yang
menjadi kendala bagi lembaga Eksekutif Kabupaten Halmahera Tengah dalam proses
pembuatan Ranperda adalah dalam proses pembahasan Ranperda itu sendiri, karena
biasanya kehadiran anggota DPRD tidak memenuhi kuorum, dan terkadang pejabat
terkait tidak hadir dalam proses pembahasan Ranperda, padahal dalam proses
pembahasan Ranperda membutuhkan waktu yang cukup panjang. Apalagi dalam proses
pembahasan Ranperda sering terjadi beda pendapat antara Legislatif dan Eksekutif
sehingga pembahasan selalu dipending hingga berminggu-minggu.[19]
Apabila
adanya perbedaan pendapat antara Eksekutif dan Legislatif dalam pembahasan Ranperda,
maka pembahasan akan diskorsing, misalnya perbedaan pendapat dalam proses
ranperda tentang desa, maka masing-masing pihak harus turun kembali ke desa
untuk mengambil data kembali kemudian disinkronisasikan kembali data diperoleh antara
lembaga Eksekutif dan Legislatif apakah sama ataukah tidak, dan tetap
diselesaikan dengan cara musyawarah dan mufakat.[20]
Khusus
untuk Kabupaten Halmahera Tengah, karena kultur Fagogoru (Kekeluargaan) nya masih sangat kental sehingga dalam
menghadapi masalah seperti ini lebih mengedepankan perasaan, hal inilah yang
menjadi faktor DPRD terkadang menjadi dilematis dalam mengambil tindakan tegas,
sehingga dalam menjalankan fungsi pengawasannya berakhir pada win-win solution, setiap pelanggaran
selalu ditolerir.[21]
Dalam
proses pembuatan Ranperda, memakan waktu yang cukup panjang, karena sebelum
melakukan rancangan, terlebih dahulu harus turun ke masyarakat untuk mengambil
data, setelah mengambil data kemudian melakukan analisa data, lalu menyusun Ranperda.
Ini semuanya membutuhkan anggaran, jadi yang menjadi dilema bagi Eksekutif
adalah Masalah anggaran yang sangant terbatas.[22]
Kalaupun
keterbatasan anggaran dijadikan alasan sebagai hambatan dalam proses pembuatan
Ranperda sangat kurang tepat, karena masalah anggaran telah dianggarkan didalam
pembahasan APBD, dan Pemerintantah Daerah telah membahasnya terlebih dahulu
tentang pembahasan Ranperda dalam masa satu tahun.[23]
Keberhasilan
pelaksanaan kebijakan mensyaratkan interaksi dan koordinasi sejumlah besar
lembaga pada tingkat pemerintahan yang berbeda, mengharuskan tindakan-tindakan
pendukung oleh badan-badan Pemerintahan Daerah, regional, dan nasional serta
kerjasama oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan kelompok-kelompok yang
bersangkutan.
Diantara
dua kelembagaan tersebut jika dihadapkan dengan pertanyaan siapa yang lebih
besar peranannya dalam pembentukan Perda, maka jelas di dalam kenyataannya
Kepala Daerah dengan perangkatnya yang mendominasi, berdasarkan pertimbangan
logis bahwa informasi, keahlian, dan sumber daya atau sarana penunjang lainnya
dimiliki dan dikuasai oleh Pemerintah Daerah, sehingga Pemerintah Daerahlah
yang lebih mengetahui apa, kapan, dan bagaimana sesuatu perlu diatur dengan Perda.
Efektivitas
hubungan dan jalinan antar lembaga yang melaksanakan kebijakan-kebijakan
desentralisasi tampaknya bergantung pada:
a. Kejelasan
dan konsistensi tujuan kebijakan dan tingkat kejelasan arah yang dipahami oleh
badan-badan pelaksana untuk menempuh upaya-upaya yang mengarah pada tercapainya
tujuan kebijakan;
b. Alokasi
fungsi dan peran yang tepat antara badan-badan pelaksana, berdasarkan kemampuan
dan sumberdayanya;
c. Tingkat
standarisasi bagi prosedur perencanaan, penetapan anggaran, dan pelaksanaan
yang pada gilirannya dapat mengarungi kadar interpretasi yang bertentangan yang
menjadikan sulitnya program dan kebijakan dikoordinasikan;
d. Akurasi,
konsistensi, dan kualitas komunikasi antar lembaga yang memungkinkan lembaga
yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan dapat memahami peran dan tugas mereka
serta mendukung upaya-upaya pihak lain; dan
e. Efektivitas
ikatan antar satuan kantor administratif terdesentralisasi yang menjamin
berlangsungnya interaksi dan memungkinkan upaya koordinasi.[24]
Otonomi
Daerah mempunyai prospek yang bagus di masa mendatang dalam menghadapi segala
tantangan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. untuk dapat mewujudkan prospek Otonomi Daerah di masa mendatang
tersebut diperlukan suatu kondisi yang kondusif diantaranya yaitu :
a. Adanya
komitmen politik dari seluruh komponen bangsa terutama Pemerintah dan lembaga
perwakilan (DPRD) untuk mendukung dan memperjuangkan implementasi kebijakan
Otonomi Daerah.
b. Adanya
konsistensi kebijakan penyelenggara negara terhadap implementasi kebijakan
Otonomi Daerah.
c. Kepercayaan
dan dukungan masyarakat serta pelaku ekonomi dalam Pemerintah dalam mewujudkan
cita-cita Otonomi Daerah.
Dengan kondisi tersebut bukan merupakan suatu
hal yang mustahil Otonomi Daerah mempunyai prospek yang sangat cerah di masa
mendatang.
4. Tahapan
serta mekanisme yang dilalui oleh DPRD dan Pemerintah Daerah Kabupaten
Halmahera Tengah Dalam Proses Pembuatan Rancangan Peraturan Daerah
Tentunya masyarakat sangat mengharapkan agar perda-perda
yang dibuat natinya dapat berdaya guna untuk kemajuan Kabupaten Halmahera
Tengah yang tentunya untuk kesejahteraan masyarakat secara luas. Oleh karena
itu, untuk menghasilkan Perda yang baik haruslah mempunyai
persyaratan-persyaratan yang berkaitan dengan sistem, azas, tata cara
penyiapan, pembahasan, teknik penyusunan serta pemberlakuannya.
Dalam hal tata cara pembentukan Peraturan
Perundang-undangan termasuk pembentukan Perda telah diatur dengan UU No.
10 Tahun 2004. Dan bahkan untuk melaksanakan UU tersebut telah pula ditetapkan
beberapa Peraturan pelaksanaannya, diantaranya adalah Peraturan Pemerintah
Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Peraturan
Presiden No. 1 Tahun 2007 Tentang Pengesahan, Pengundangan dan Penyebar Luasan
Peraturan Perundang-undangan. Dapat juga kita lihat dalam Peraturan Menteri
Hukum dan HAM No. M.01.HU.03.02.Th.2007 tentang Tata Cara Pengundangan dan
Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan.
Berdasarkan hal tersebut diatas perlu diingatkan
agar dalam pembentukan Perda, harus adanya sinergi antara UU No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
5. Mekanisme dan Tahapan yang dilalui oleh
DPRD Kabupaten Halmahera Tengah dalam proses Pembuatan Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten Halmahera Tengah
Berdasarkan keputusan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Nomor: 188.4/04/DPRD/HT/2009 Tentang Peraturan
Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Halmahera Tengah, dengan
pertimbangan bahwa, untuk melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyarawatan/perwakilan, perlu
mewujudkan lembaga Perwakilan Rakyat Daerah yang mampu mengejawantahkan
nilai-nilai demokrasi serta menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat dan
daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara,
maka perlu menata Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk mengembangkan kehidupan
demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, perlu mewujudkan lembaga
Perwakilan Rakyat Daerah sebagai penyelenggaraan Pemerintahan besama-sama
dengan Pemerintah Daerah yang mampu mengurus urusan Pemerintahan dan
kepentingan masyarakt setempat berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Setiap
anggota DPRD dapat mengajukan suatu usul prakarsa Ranperda yang secara
substansial selaras dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dan
secara prosedural memenuhi kaidah-kaidah legal
drafting. Usul prakarsa kemudian disampaikan kepada pimpinan DPRD dalam
bentuk Ranperda disertai penjelasan secara tertulis dan diberikan nomor pokok
oleh Sekretariat DPRD. Usul prakrasa tersebut oleh pimpinan DPRD disampaikan
kepada Badan Legislasi Daerah untuk dilakukan pengkajian, berdasarkan hasil
pengkajian Badan Legislasi Daerah pimpinan DPRD menyampaikan kepada rapat
paripurna DPRD.
Dalam
rapat paripurna, para pengusul diberikan kesempatan memberikan penjelasan atas
usul sebagaimana yang telah diusulkan dalam bentuk Ranperda. Pembicaraan
mengenai usul prakarsa dilakukan dengan memberi kesempatan kepada anggota DPRD
lainnya untuk memberikan pandangan, dan para pengusul memberikan jawaban atas
pandangan para anggota DPRD lainnya.
Usul
prakarsa sebelum diputuskan menjadi prakarsa DPRD, para pengusul berhak
mengajukan perubahan dan atau mencabutnya kembali. Pembicaraan diakhiri dengan
keputusan DPRD yang menerima atau menolak usul prakarsa menjadi prakarsa DPRD,
tata cara pembahasan Ranperda atas prakarsa DPRD mengikuti ketentuan yang
berlaku dalam pembahasan Ranperda atas prakarsa Kepala Daerah.
Agar
suatu Perda yang telah ditetapkan dapat berjalan dengan efektif, maka
sebelumnya Perda tersebut disahkan, terlebih dahulu dilakukan uji publik
tentang Ranperda tersebut untuk memperoleh masukan-masukan dari masyarakat dan
juga seluruh stake holder.
Bagan tentang Mekanisme Usulan Rancangan
Peraturan Daerah berdasarkan inisiatif DPRD Kabupaten Halmahera Tengah
5 orang anggota DPRD usul prakarsa
|
Pimpinan
DPRD
|
Anggota DPRD Pandangan 1
|
|
Kepala Daerah
Penjelasan Usul jawaban:
1. Pandangan
2. Pendapat Kepala Daerah
|
Keputusan DPRD Menolak atau menerima menjadi Prakarsa
DPRD
|
Penyerahan
·
Komisi/Gab.
Komisi
·
PANSUS
|
(Sumber: Sekretariat DPRD
Kabupaten Halmahera Tengah).
Keterangan:
Apabila DPRD mengusulkan
Rancangan Peraturan Daerah berdasarkan atas hak inisiatif DPRD, terlebih dahulu
harus usulan dari anggoga DPRD, minimal terdiri dari 5 (lima) orang anggota
DPRD yang memprakarsai usulan Rancangan Peraturan Daerah. Usulan tersebut
disampaika kepada Pimpinan DPRD, kemudian dibentuk Panitia Musyawarah (Panmus).
Apabila DPRD menggunakan hak inisiatif
DPRD lalu kemudian ditolak oleh Pemerintah Daerah (Bupati), maka Perda tersebut
diteliti dan dipelajari pada bagian mana yang merupakan catatan penolakan.
Setelah dipelajari lalu kemudian diperbaiki kalau terkait dengan materi Perda,
setelah itu diajukan lagi melalui mekanisme yang berlaku.
Dalam proses pembahasan Ranperda idealnya harus melalui
tahapan-tahapan yang telah ditentukan, namun dalam praktiknya ada tahapan yang
tidak dilalui, misalnya dalam proses pembahasan Ranperda, setelah tahapan I,
yaitu keterangan/penjelasan komisi/gabungan komisi/panitia khusus DPRD tentang
Ranperda lalu masuk pada tahap II yaitu tanggap oleh lembaga eksekutif atau
kepala daerah atas keterangan/penjelasan pada tahap I lalu setelah itu adalah
pembahasan di internal DPRD atas tanggapan dari eksekutif. Tahapan inilah yang
sering tidak dilalui dalam proses rancangan peraturan daerah, tahapan ini hanya
dilalui khusus dalam pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).[25]
Setelah Ranperda disusun, kemudian diserahkan ke DPRD untuk
dipelajari dan dibahas. Dalam pembahasan Ranperda memerlukan waktu yang cukup
lama karena dibutuhkan ketelitian terhadap isi dari Ranperda tersebut, setelah
Ranperda yang diajukan oleh eksekutif dipelajari oleh legislatif, kemudian DPRD
mengundang eksekutif untuk dibahas bersama. Kemudian pada tahap terakhir adalah
tahap pengesahan, dan diserahkan kepada Eksekutif untuk di tindaklanjuti.
Pihak-pihak yang turut dilibatkan dalam Proses Rancangan
Peraturan Daerah tergantung dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Contoh
kalau pembahasan tentang pajak atau retribusi, berarti ada hubungannya dengan
Dispenda, koperasi, keuangan dan bagian ekonomi semuanya dilibatka secara
bersama.
Tahapan yang dilalui oleh DPRD
Kabupaten Halmahera Tengah dalam proses Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten
Halmahera Tengah.
TAHAP
|
RAPERDA DARI DPRD
|
RAPERDA DARI PEMDA
|
Tahap I
(rapat paripurna)
|
Keterangan/penjelasan
komisi/gabungan komisi/panitia khusus DPRD tentang Raperda
|
Keterangan/penjelasan Pemda
tentang Raperda dari Pemda
|
Tahap II
(rapat gabungan
komisi/pansus)
|
·
Tanggapan Pemda tentang Raperda dari DPRD
·
Jawaban komisi/gabungan komisi/pansus DPRD
terhadap tanggapan Pemda
|
·
Pemandangan umum para anggota DPRD (melalui
fraksi) terhadap raperda dari pemda
·
Jawaban pemda terhadap pemandangan umum dari
anggota DPRD
|
Tahap III
rapat gabungan
komisi/pansus
|
·
Pembahasan Raperda dalam komisi/Gabungan
komisi/panitia khusus bersama Pemda
·
Pembahasan Ranperda secara interen dalam
Komisi/gabungan Komisi/Pansus tanpa mengurangi pembahasan bersama Pemda
|
|
Tahap
IV
(rapat paripurna)
|
·
Laporan hasil pembahasan tahap III
·
Pendapat akhir fraksi apabila perlu dapat
disertai catatan
·
Pengambilan keputusan
·
Sambutan pemda
|
Sumber: Sekretariat DPRD Kabupaten
Halmahera Tengah.
Fungsi
legislasi DPRD Kabupaten Halmahera Tengah hampir menjelang dua periode bisa
dikatakan mati, karena tidak ada inisiatif Dewan untuk membuat Ranperda. Dari peraturan
daerah yang dihasilkan, seluruhnya datang dari inisiatif eksekutif. Hal ini
semakin diperkuat dengan temuan hasil wawancara dengan Bpk. Ismail Kabag. Hukum
Pemkab Halteng yang menyatakan bahwa selama beliau menjabat sebagai Kabag.
Hukum Pemeritah Kabupaten Halmahera Tengah dalam kurun waktu 10 tahun, belum
pernah ada sebuah Perda yang berasal dari inisiatif DPRD Kabupaten Halteng.
Banyak faktor
mengapa DPRD belum pernah mengajukan hak inisiatif. Misalnya, sering kali
terjadi perubahan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi daripada level
Perda. Mau tidak mau perubahan itu harus ditindaklanjuti dengan Perda. Karena
peraturan di atas sering berubah-ubah, yang lebih siap secara kelembagaan dan
aparaturnya, ya, pihak eksekutif. Tapi otonomi daerah ditandai dengan adanya
kebebasan membuat Perda berdasarkan kebutuhan dan kekhasan daerah. Inisiatif
titik tekan kebutuhan dan kekhasan daerah itu mestinya datang dari DPRD. Tapi
dalam hal ini mereka lemah.
Peran DPRD
dalam proses Pembangunan Daerah merupakan kebutuhan, dimana sala satu fugnsi
DPRD adalah pengawasan. Oleh karena itu DPRD dapat melaksanakan tugas, wewenang
dan hak-haknya secara efektif karena dari sisi kemitraan DPRD sejajar dengan lembaga
Eksekutif dalam menyusun Anggaran, menyusun dan menetapkan berbagai Perda. Dari
sisi control, DPRD melakukan pengawasan secara efektif terhadap Kepala Daerah
dalam pelaksanaan APBD atau kebijakan publik yang telah ditetapkan.
Optimalisasi
peran DPRD ini tidak terlepas dari etika politik bagi anggota DPRD, agar
pelaksanaan fungsi-fungsi anggaran, legislasi dan pengawasan dapat berlangsung
secara etis dan profesional, baik dalam berbicara maupun bersikap atau
bertindak, serta tidak melupakan posisinya sebagai wakil rakyat yang telah
memilihnya.
Secara
kelembagaan DPRD harus benar-benar mampu berperan dalam arti mampu menggunakan
hak-haknya secara tepat, melaksanakan tugas dan wewenangnya secara efektif dan
menempatkan kedudukannya secara proporsional. DPRD harus mengontrol seluruh
aktifitas Pemerintahan di Daerah agar sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Perda yang
telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), maka Pemerintah
Daerah (Pemda) bersama dengan anggota DPRD melakukan sosialisasi kepada
masyarakat sehingga masyarakat juga tahu tentang Perda tersebut, dimana DPRD
sebagai Lembaga Legislatif yang kedudukannya sebagai Wakil Rakyat tidak mungkin
melepaskan dirinya dari kehidupan rakyat yang diwakilinya. Oleh karena itu
secara material mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan kepada rakyat
atau publik yang diwakilinya. Dengan demikian maka antara Legislatif dan
Eksekutif terjalin komunikasi timbal balik dan adanya keterbukaan di antara
para pihak dalam penyelesaian segala permasalahan dalam mewujudkan
kesejahteraan rakyat. Disinilah peran dan fungsi DPRD akan terjadi hubungan
yang cukup signifikan dengan Pemerintah Daerah seiring dengan tujuan
otonomisasi daerah.
Untuk
Kabupaten Halmahera tengah, terdapat Problematika yang dihadapi terkait dengan
pembangunan hukum di daerah, yakni:
1. Pembentukan
Perda belum berdasarka Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
2. Pembentukan
Perda belum menampung kondisi khusus Daerah dan/atau ciri khas Daerah
3. Kewenangan
legislasi DPRD selama ini belum diikuti dengan alat kelengkapan yang memadai.
Fungsi
pengawasan DPRD merupakan salah satu fungsi manajemen untuk menjamin
pelaksanaan kegiatan sesuai dengan kebijakan dan rencana yang telah ditetapkan
serta memastikan tujuan dapat tercapai secara efektif dan efisien.
Fungsi ini
bermakna penting baik bagi Pemerintah Daerah maupun pelaksana pengawasan. Bagi
Pemerintah Daerah, fungsi pengawasan merupakan suatu mekanisme peringatan dini
(early warning system) untuk mengawal
pelaksanaan aktifitas mencapai tujuan dan sasaran. Sedangkan bagi pelaksana
pengawasan DPRD, fungsi pengawasan ini merupakan tugas mulia untuk memberikan
telaah dan saran, berupa tindakan perbaikan. Maka apabila suatu Perda tidak
berjalan sesuai dengan yang diinginkan, maka DPRD melakukan rapat kerja dengan
instansi terkait, dan mempertanyakan hal tersebut, karena DPRD melaksanakan
pengawasan dengan tujuan utama, antara lain:
1.
Menjamin agar Pemerintah Daerah berjalan
sesuai dengan rencana;
2.
Menjamin kemungkinan tindakan koreksi
yang cepat dan tepat terhadap penyimpangan dan penyelewengan yang ditemukan;
3.
Menumbuhkan motifasi, perbaikan,
pengurangan, peniadaan penyimpangan;
4. Meyakinkan
bahwa kinerja Pemerintah Daerah sedang atau telah mencapai tujuan dan sasaran
yang telah ditetapkan.
DPRD Kabupaten Halmahera Tengah menyadari bahwa praktik Good Public Governance pada fungsi
pengawasan saat ini masih membutuhkan beberapa perbaikan (Improvement) agar dapat mencapai tujuan yang kita harapkan bersama.
Fungsi pengawasan dapat diselaraskan dengan tujuannya, antara
lain dengan melakukan beberapa hal berikut:
1. Memaknai
secara benar fungsi dan tujuan pengawasan, sehingga dapat menjadi mekanisme check & balance yang efektif;
2. Optimalisasi
pengawasan agar dapat memberikan kontribusi yang diharapkan pada pengelolaan
Pemerintahan Daerah;
3. Penyusunan
agenda pengawasan DPRD;
4. Perumusan
standar, sistem, dan prosedur baku pengawasan DPRD;
5. Dibuatnya
mekanisme yang efektif untuk partisipasi masyarakat dalam proses pengawasan dan
saluran penyampaian informasi masyarakat dapat berfungsi efektif sebagai salah
satu alat pengawasan.
Dari temuan dilapangan berdasarkan
hasil wawancara dengan Ibu Nurhayati Rais selaku Wakil Ketua DPRD Kabupaten
Halmahera Tengah, pada tanggal 14 Juli 2010 Pkl. 20.05 WIT. Dalam wawancara tersebut
ditanyakan tentang langkah awal yang dilakukan oleh DPRD dalam proses pembuatan
Ranperda, lalu Wakil Ketua DPRD
Kabupaten Halmahera Tengah menyatakan bahwa sebagai DPRD mereka selalu
melakukan kunjungan ke daerah dimana mereka dipilih (Dapil), untuk meminta
pendapat serta pandangan dari masyarakat, kunjungan ini dilakukan setiap empat
bulan sekali.
Adapun cara yang dilakukan untuk meminta pendapat serta pandangan dari
masyarakat adalah dengan melalui musrembug desa, musrembug kecamatan atau dengan
berdiskusi dengan masyarakat secara perorangan. Menurut beliau, mereka juga
mengakui bahwa DPRD Halmahera Tengah belum mampu melakukan fungsi pengawasan
dengan baik. Misalnya, terkadang Ranperda tentang anggaran yang telah disahkan
menjadi Perda, itu kemudian oleh lembaga eksekutif diubah kembali secara
sepihak tanpa sepengetahuan DPRD. Hal
ini terjadi karena menurut Wakil Ketua DPRD Halmahera Tengah, UU No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah sangat membatasi kewenangan DPRD, UU tersebut
dianggap telah mengebiri kewenangan DPRD, beliau mencontohkan, misalnya Laporan
Pertanggungjawaban (LPJ) Bupati hanya berupa keterangan sehingga DPRD tidak
dapat mangambil tindakan yang tegas. Ketika ditanyakan tentang langkah
selanjutnya setelah Ranperda disahkan menjadi sebuah perda, idealnya Perda tersebut harus disosialisasikan terlebih dahulu,
dan itupun harus dilakukan oleh DPRD bersama-sama dengan Pemerintah, tapi
masalahnya DPRD tidak memiliki anggaran khusus untuk melakukan sosialisasi
Perda sehingga selama ini sosialisasi Perda hanya dilakukan oleh Lembaga
Eksekutif.[26]
Dari pernyataan Wakil Ketua DPRD Kabupaten Halmahera Tengah di
atas, seolah DPRD tidak memiliki kewenangan dan tidak berdaya, seharusnya dalam
menjalankan tugas dan fungsinya, DPRD dapat mengacu pada UU No. 27 Tahun 2009 tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD Pasal 349 ayat (1), bahwa DPRD
Kabupaten/Kota mempunyai hak Interpelasi, hak Angket; dan Menyatakan pendapat.
Sementara temuan berdasarkan hasil
wawancara dengan Bpk. Abd. Rahim Odeyani selaku Ketua DPRD Kabupaten Halmahera
Tengah, beliau ditanyakan tentang Tugas dan fungsi DPRD Kabupaten Halmahera
Tengah. Menurut Ketua DPRD Kabupaten Halmahera Tengah, tugas dan fungsi DPRD Kabupaten
Halmahera Tengah bukan hanya sebatas di lingkup Halmahera Tengah, tapi Tugas
dan fungsi DPRD secara nasional dan secara menyeluruh adalah sama, sebagaimana
diatur di dalam UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Lebih khusus
lagi di dalam Peraturan DPRD Kabupaten Halmahera Tengah ada beberapa tambahan
yang diabsur masuk dalam rangka penguatan kapasitas DPRD Kabupaten Halmahera
Tengah.
Mengenai peranan DPRD dalam pembangunan Kabupaten Halmahera
Tengah, DPRD Kabupaten Halmahera Tengah hanya memiliki tugas yang bersifat
normatif, yakni menyerap dan menghimpun aspirasi masyarakat kemudian
bersama-sama dengan Pemerintah Daerah membahas, mengesahkan dan menetapkan
Peraturan Daerah.
DPRD melalui pembahasan-pembahasan anggaran kemudian mengawal
seluruh proses kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam rangka
pembangunan yang nantinya akan dirasakan oleh masyarakat Halmahera Tengah itu
sendiri.
Untuk saat ini tahapan yang baku dan berlaku di DPRD di seluruh
indonesia ada empat sampai lima tahapan, yaitu:
1. Pengajuan
Ranperda yang berasal dari Pemerintah Daerah kepada DPRD kemudian DPRD akan
mempelajari
2. Melalui
fraksi-fraksi menyampaikan pemandangan umum fraksi-fraksi atas pengajuan
Ranperda yang disampaikan oleh Eksekutif
3. Setelah
melalui pemandangan umum fraksi-fraksi kemudian jawaban Bupati terhadap
pemandangan umum fraksi-fraksi yang disampaikan dalam tahap kedua
4. Rapat
kerja antara DPRD dan tim Pemerintah Daerah untuk bersama-sama membahas
Ranperda yang diajukan oleh eksekutif
5. Pengesahan
melalui kata akhir fraksi-fraksi dalam rangka menyetujui Ranperda yang telah
dibahas bersama dengan Pemerintah Daerah, sebelum penetapan kemudian
disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi. Setelah diajukan selama empat
belas hari untuk evaluasi, kemudian dikembalikan ke DPRD Kabupaten untuk
ditetapkan menjadi Perda.
Sementara
Dalam proses pembahasan Ranperda, menurut Ketua DPRD Kabupaten Halmahera
Tengah, pihak-pihak lain tidak dilibatkan, akan tetapi dalam masa rancangan
kemudian disosialisasikan kepada masyarakat, maka stake holder secara keseluruhan ikut di libatkan dalam rangka untuk
mendengarkan aspirasi yang berkembang di masyarakat sesuai dengan semangat
Ranperda yang akan dibahas. Misalnya, Ranperda tentang pembentukan Desa Sanafi,
maka DPRD tidak secara langsung mengatur, mengubah dan/atau mengesahkan sebuah
Desa. Pernah DPRD Kabupaten Halmahera Tengah membahas sembilan buah Ranperda
tentang Pemekaran Desa, dan tim DPRD langsung turun ke lokasi akan dimekarkan
untuk melakukan penjaringan aspirasi masyarakat (Asmara), dengan berdasarkan
pada tinjauan sosiologis historis, luas wilayah, jumlah penduduk, infrastruktur
dll, menurut beliau inilah hal-hal yang harus turut melibatkan masyarakat agar
DPRD dapat memperoleh informasi dalam rangka Proses pembuatan Ranperda.
Saat
ditanyakan tentang mekanisme keterlibatan publik dalam proses pembuatan
Ranperda, beliau menyatakan bahwa untuk Kabupaten Halmahera Tengah, tidak ada
sebuah instrumen khusus yang mengatur tentang keterlibaatan publik dalam proses
pembuatan Ranperda, karena dalam ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang
dimaksud dengan keterlibatan publik hanya dalam hal-hal tertentu, dan tidak
dalam proses pembahasan APBD.
Untuk
perencanaan pembangunan berjalan dari bawah, misalnya melalui Musrembang desa,
musrembang kecamatan, dan musrembang kabupaten, ini melibatkan seluruh stake holder yang ada, dan DPRD dari
masing-masing Daerah Pemilihan (Dapil) kembali ke Kecamatan untuk bersama-sama
dengan Pemerintah setempat dalam rangka melakukan pembahasan Musrembang. Sedangkan
untuk pembahasan anggarannya tidak melibatkan masyarakat, karena tidak ada
aturan yang mengatur bahwa DPRD dan Pemerintah Daerah membahas APBD harus
melibatkan masyarakat. Akan tetapi dalam perencanaan pembangunan yang akan
menggunakan dana APBD maka masyarakat akan dilibatkan, namun masyarakat tidak
dilibatkan dalam pembahasan.[27]
Dalam
kesempatan yang sama ketika ditanyakan tentang bagaimana tanggapan masyarakat
Kabupaten Halmahera Tengah atas Ranperda yang telah disahkan menjadi Perda,
beliau menyatakan bahwa untuk Perda yang selama ini dibahas oleh DPRD Kabupaten
Halmahera Tengah, hingga saat ini belum pernah ada penolakan, hal ini karena
nilai-nilai fagogoru (Rasa
Persaudaraan dan kebersamaan) masih tetap menjadi pegangan dalam kehidupan
masyarakat Halmahera Tengah, dengan tanpa mengabaikan Hukum dan Peraturan Perundang-undangan
yang berlaku.
Apabila
sebuah Perda tidak dapat berjalan dengan efektif, maka DPRD akan melakukan
evaluasi dan instropeksi, karena mungkin Perda tersebut tidak sesuai dengan
semangat dan kultur masyarakat sehingga perlu untuk dilakukan revisi dan
membenahinya kembali.
6. Proses Pelembagaan Legislasi Daerah.
Perlunya sebuah proses pelembagaan Legislasi Daerah oleh
DPRD Kabupaten Halmahera Tengah, sehingga diharapkan memperoleh hasil yang
lebih baik serta bisa diterima, dengan dilakukannya langkah-langkah yaitu:
1. Menyepakati
obyek atau lingkup yang menjadi agenda Legislasi Daerah. Dalam hal ini anggota
dan perangkat DPRD perlu mencapai pemahaman bersama tentang lingkup legislasi
yang hendak diagendakan dan pada tingkat mana yang hendak dilakukan. Untuk
menjadikan lingkup legislasi tersebut sebagai aksi bersama, maka perlu
dilakukan identifikasi terhadap obyek/masalah yang dimasukkan dalam agenda
legislasi;
2. Adanya
jaringan yang akan dilibatkan dalam fungsi Legislasi. Langkah ini diambil
setelah berbagai masalah dapat diidentifikasi dan disepakati. Jaringan yang
terlibat sebaiknya didasarkan pada dampak, manfaat, pihak atau yang mewakili
bersinggungan langsung dengan kepentingan tersebut;
3. Pemetaan
masalah yang perlu diagendakan. Tahap ini merupakan kelanjutan dari
identifikasi masalah dan telah disepakati dengan pihak-pihak yang sudah
teridentifikasi untuk dilibatkan, sehingga yang perlu dilakukan adalah mengukur
pelaku yang dilibatkan dalam jaringan, pemahaman, kepentingan atau relevansinya
dengan masalah yang menjadi agenda legislasi;
4. Menyepakati
proses Legislasi. Hal ini sudah memasuki rangkaian kegiatan yang bersifat
teknis operasional, sehingga perlu disepakati antara DPRD dengan jaringan yang
dibentuk untuk beberapa hal yang menyangkut apa saja yang diperlukan untuk
kegiatan tersebut, bagaimana langkah-langkah yang harus ditempuh DPRD bersama
jaringan tersebut, termasuk tata cara penyelesaian jika terjadi
persoalan-persoalan yang membutuhkan penyikapan segera berdasarkan kesepakatan
yang sudah dibuat. Bahkan kalau kesepakatan tersebut terfasilitasi melalui
pertemuan publik, hal itu justru akan memberikan legitimasi baik bagi pihak
DPRD maupun pelaku jaringan dalam melaksanakan fungsi legislasi;
5. Penyiapan
bahan/draft dan penyebaran informasi. Langkah ini dimaksudkan dapat memberikan
informasi kepada publik dengan harapan akan memperoleh umpan balik dan dukungan
publik untuk pelaksanaan fungsi legislasi. Informasi tersebut dapat disampaikan
melalui media massa dan akses yang dimiliki jaringan yang ada.
Selain faktor-faktor yang perlu
diantisipasi untuk membangun jaringan dalam rangka pelaksanaan fungsi legislasi
yang lebih efektif, beberapa hal juga perlu diperhatikan untuk menjalin
hubungan antara partisipan dengan DPRD agar kinerja DPRD dalam pelaksanaan
fungsi legislasi secara optimal dapat dicapai, yaitu:
a. Membentuk
komunitas di berbagai kalangan dan tingkatan. Kelompok atau forum inilah yang
diharapkan dapat memberikan sinyal atau indikasi jika terjadi penyimpangan yang
dilakukan lembaga Pemerintahan di Daerah;
b. Mengadakan
pertemuan-pertemuan rutin antara DPRD dengan kelompok jaringan atau lebih luas
lagi dengan masyarakat baik dalam kunjungan kerja (formal) maupun pertemuan
tidak formal untuk mendiskusikan berbagai permasalahan yang terjadi khususnya
yang terkait dengan masalah yang sudah teragendakan;
c. Menyiapkan
dan membuat aturan main yang memungkinkan masyarakat/kelompok jaringan atau
pihak lain dapat menyampaikan laporan, termasuk syarat untuk terpenuhinya
dilakukan dengan pendapat umum (public
hearing);
d. Meningkatkan
kerjasama dengan pihak terkait terutama dengan media massa, organisasi profesi,
LSM, dan lain-lain.
Ada
beberapa hal yang mungkin menghambat harapan DPRD dengan membangun jaringan
dengan masyarakat baik yang timbul dari dalam maupun luar DPRD. Oleh karena
itu, perlu diantisipasi dan disiapkan solusinya, yaitu:
a. Di
satu sisi, jabatan keanggotaan DPRD ditentukan secara periodik, sehingga
anggota DPRD mengalami keterbatasan waktu, jangkauan wilayah kerja, penguasaan
substansi, sementara di sisi lain DPRD dituntut menanggung tugas dan fungsi yang
cukup berat, salah satu fungsinya adalah di bidang legislasi, sehingga tidak
menutup kemungkinan DPRD mengalami kesulitan menangkap dinamika kebutuhan dan
kepentingan masyarakat. Dengan demikian, DPRD harus membuka ruang dan waktu
bagi masyarakat di sela-sela pelaksanaan tugas dan fungsinya untuk menyampaikan
masukan, umpan balik, keberatan, bahkan gugatan dan tuntutan sebagai bentuk
partisipasi masyarakat dalam rangka mengevaluasi kinerja DPRD dan Pemerintah Daerah.
Langkah tersebut dapat mengatasi kesenjangan dan mengurangi protes sosial;
b. DPRD
akan menghadapi persoalan biaya yang cukup besar jika harus melakukan sendiri
identifikasi masalah serta inventarisasi kebutuhan dan kepentingan masyarakat
secara menyeluruh. Oleh karena itu, meningkatkan partisipasi masyarakat secara
aktif akan dapat mengatasi persoalan biaya tersebut, karena masyarakat
sendirilah yang akan menterjemahkan kebutuhan dan kepentingannya serta
menyampaikannya kepada DPRD;
c.
Dalam pelaksanaannya tidak menutup
kemungkinan bahwa anggota atau kelompok anggota DPRD cenderung mengutamakan
kepentingan individu dan kelompoknya daripada kepentingan masyarakat. Oleh
karena itu, dalam tatanan demokrasi yang berciri pemilihan secara langsung
terhadap wakil-wakil yang duduk di lembaga Legislatif maupun Eksekutif,
kehadiran masyarakat dan lembaga-lembaga masyarakat sipil tidak bisa
ditawar-tawar lagi, karena keberadaan mereka akan menjadi kekuatan penyeimbang
untuk mewujudkan pengawasan yang memenuhi aspirasi masyarakat. Di bawah ini
disajikan faktor-faktor yang perlu diperhatikan ketika membangun jaringan.
Salah satu
faktor mengapa DPRD Kabupaten Halmahera Tengah belum pernah mengajukan hak
inisiatifnya adalah kurangnya perangkat daerah, namun saat ini DPRD dapat
membentuk suatu perangkat yang disebut dengan Badan Legislasi Daerah dengan mengacu
pada PP No. 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pasal 50,
Badan legislasi Daerah bertugas menyusun rancangan program Legislasi Daerah
yang memuat daftar urutan dan prioritas Ranperda beserta alasannya untuk setiap
tahun anggaran dilingkungan DPRD, melakukan koordinasi untuk penyusunan program
Legislasi Daerah antara DPRD dan Pemerintah Daerah, menyiapkan Ranperda usul
DPRD berdasarkan program prioritas yang telah ditetapkan, melakukan
pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Ranperda yang diajukan
anggota, komisis dan/atau gabungan komisi sebelum Ranperda tersebut disampaikan
kepada pimpinan DPRD.
Badan
Legislasi Daerah juga memberikan pertimbangan terhadap Ranperda yang diajukan
oleh anggota, komisi dan/atau gabungan komisi, diluar prioritas Ranperda tahun
berjalan atau diluar Ranperda yang terdaftar dalam program Legislasi Daerah,
mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap pembahasan materi muatan
Ranperda melalui koordinasi dengan komisi dan/atau panitia khusus, memberikan
masukan kepada pimpinan DPRD atas Ranperda yang ditugaskan oleh Badan
Musyawarah, dan membuat laporan kinerja dan inventarisasi masalah dibidang
Perundang-undangan pada akhir masa keanggotaan DPRD.
7. Mekanisme dan Tahapan yang dilalui oleh Lembaga Eksekutif Kabupaten
Halmahera Tengah dalam proses Pembuatan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten
Halmahera Tengah
Dalam rangka perumusan Ranperda Kabupaten Halmahera Tengah,
Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah mengeluarkan Peraturan Bupati Halmahera
Tengah No. 14 Tahun 2008 tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Sekretariat
Daerah Kabupaten Halmahera Tengah.
Maka dilakukan penyusunan penjabaran Tupoksi Sekretariat Daerah
Kabupaten Halmahera Tengah. Pengaturan tentang perangkat Pemerintah Daerah yang
melaksanakan proses Ranperda diatur di dalam Pasal 18, bahwa bagian Hukum
mempunyai tugas menyiapkan bahan, data dan informasi dalam rangka perumusan
kebijakan teknis dan penyusunan Ranperda. Pasal 19, dalam melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud pada Pasal 18, bagian Hukum menyelenggarakan fungsi:
a. Pengumpulan
bahan, data dan informasi perumusan kebijakan teknis bagian Hukum;
b. Penyiapan
dokumen Ranperda yang akan disampaikan ke Dewan;
c. Penyusunan
rencana kegiatan bagian Hukum;
d. Pelaksanaan
harmonisasi Perda dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi;
e. Penilaian/pertimbangan
atas pembuatan naskah dinas yang terkait dengan pembentukan Perda, Peraturan Bupati,
Keputusan Bupati dan Keputusan yang disebut satuan kerja perangkat Daerah;
f. Pengelolaan
dan penyimpanan data unit kerja;
g. Perekapan
program dari masing-masing sub bagian;
h. Pelaksanaan
program dan kegiatan bidang Hukum;
i.
Pelaksanaan pelayanan administratif kepada dinas daerah dan lembaga teknis daerah
bidang penyelenggaraan Hukum;
j.
Pemberian pertimbangan penyelenggaraan
pemerintahan dibidang Hukum;
k. Evaluasi
dan monitoring pelaksanaan Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk dengan
Perda, Peraturan Bupati dan Keputusan Bupati;
l.
Penyampaian laporan unit
m. Pelaksanaan
tugas-tugas kedinasan lainnya yang diberikan oleh atasan.
Selanjutnya Pasal 21 menyebutkan bahwa, sub
bagian pengkajian Peraturan Perundang-undangan mempunyai tugas menyiapkan
bahan, data dan informasi dalam rangka perumusan kebijakan teknis dan
penyusunan rencana kerja bidang pengkajian Peraturan Perundang-undangan. Pasal 22, untuk melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud pada pasal 21, sub bagian pengkajian Peraturan
Perundang-undangan menyelenggarakan fungsi:
a. Pengumpulan
bahan, data dan informasi perumusan kebijakan teknis sub bagian pengkajian
Peraturan Perundang-undangan;
b. Penyusunan
rencana kegiatan sub bagian pengkajian Peraturan Perundang-undangan
c. Pengkajian
data dan landasan hukum penyusunan produk Hukum Daerah;
d. Pembuatan
dan pemeriksaan konsep rancangan produk Hukum Daerah dari semua perangkat
Daerah;
e. Pengevaluasian
pelaksanaan produk Hukum Haerah dan Peraturan Perundang-undangan;
f. Pelaksanaan
inventarisasi permasalahan bidang pengkajian Peraturan Perundang-undangan serta
merumuskan langkah-langkah pemecahannya;
g. Pelaksanaan
evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan tugas;
h. Pelaksanaan
tugas-tugas kedinasan lainnya yang diberikan oleh atasan.[28]
Skema proses penyusunan Rancangan
Peraturan Daerah (Ranperda) oleh Lembaga Eksekutif Kabupaten Halmahera Tengah.
(1)
SKPD(Buat Rancangan)
|
(2) Bagian Hukum
(penyusunan Perda)
|
(4)
Bagian Hukum (perbaikan hasil Pembahasan)
|
(5) Penyampaian
ke DPRD
|
Sumber: Jurnal Bagian Hukum Pemerintah Daerah
Kabupaten Halmahera Tengah.
Keterangan:
(1). Sebelum dilakukan Ranperda, terlebih dahulu dari Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) membuat Rancangan.
(2). Setelah SKPD membuat Rancangan, kemudian diajukan ke
bagian Hukum untuk dilakukan penyusunan Rancangan
(3). Setelah Rancangan disusun oleh Bagian Hukum, lalu
diadakan pembahasan internal yang dilakukan oleh tim pembahasan Eksekutif
(4). Setelah melalui pembahasan internal Eksekutif, lalu
dikembalikan ke bagian Hukum untuk diadakan perbaikan hasil pembahasan
(5). Seteleha diadakan perbaikan dari bagian Hukum, lalu
Rancangan disampaikan ke DPRD.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bpk. Ismail selaku Kabag. Hukum
Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Tengah, dalam wawancara tersebut
ditanyakan tentang apakah setiap Perda yang dibuat memuat tentang ketentuan
pidana. Menurut beliau tidak semua Perda
memiliki sangsi pidana, contohnya Perda tentang Desa tidak memuat tentang
ketentuan pidana, dalam setiap Perda juga tidak harus memuat penjelasan,
apabila masyarakat masih belum memahami tentang Perda yang diberlakukan, maka
akan dilakukan klarifikasi atau penjelasan ulang kepada masyarakat.
Ketika ditanyakan tentang keterlibatan publik dalam proses pembuatan
Ranperda, beliau menyatakan bahwa masyarakat dalam proses pembuatan Ranperda
dengan cara dilakukan musyawarah desa, setelah itu dibuat berita acara dan
disampaikan kepada Bupati, lalu dari Bupati didisposisi ke Bagian Hukum untuk
dilakukan proses penyusunan dan pembahasan.
Mulai dari proses perencanaan Ranperda dilakukan dari bawah ke atas (botom up pleaning), karen apabila proses
perencanaan dilakukan dengan cara dari atas kebawah (top down pleaning) biasanya tidak ada sinkronisasi antara proses
perencanaan antara Pemerintah dengan masyarakat
Menurut Bpk. Basri, salah satu staf Bagian Hukum Pemerintah
Kabupaten Halmahera Tengah, ketika ditanya tentang langkah selanjutnya setelah
pengesahan sebuah Perda. Menurutnya memang salah satu tupoksi dari bagian Hukum
adalah mensosialisasikan Perda dan itu rutin dilakukan tiap tahun, namun dalam
tahun ini belum dianggarkan dalam APBD sehingga dalam tahun ini Bagian Hukum
belum pernah melakukan sosialisasi.
Ketika ditanya tentang keterlibatan DPRD
dalam melakukan sosialisasi sebuah Perda, beliau menyatakan bahwa DPRD tidak
perlu melakukan sosialisasi karena DPRD hanya menyetujui Perda dan untuk
pelaksanaan dilapangan cukup dilakukan oleh Pemda karena DPRD tidak memiliki
Tupoksi sosialisasi. Sementara dalam tahap Ranperda belum dapat
disosialisasikan, karena Perda tersebut belum pasti dan isi dalam
pasal-pasalnyapun belum jelas apakah disetujui di DPRD ataukah tidak disetujui.[29]
Dari temuan berdasarkan
hasil wawancara yang dilakukan di Lembaga Eksekutif, ditemukan adanya perbedaan
pendapat di internal lembaga Eksekutif sendiri, sebagaimana pernyataan yang
disampaikan oleh Kabag. Hukum serta salah satu stafnya, dan pernyataan yang
disampaikan oleh Wakil Bupati Halmahera Tengah di bawah ini.
Menurut Wakil Bupati Halmahera Tengah,
dalam mensosialisasikan sebuah Perda yang telah disahkan memang seharusnya
dulakukan oleh kedua lembaga, yakni Lembaga Legislatif dan Eksekutif. Namun
selama ini sosialisasi Perda hanya dilakukan oleh Eksekutif, hal ini menurutnya
karena kurang adanya komunikasi antara kedua Lembaga. Untuk Eksekutif sendiri,
sosialisasi dilakukan oleh Bagian Hukum karena bagian Hukum yang memiliki
kompeten dibidang Peraturan Perundang-undangan.
Dalam pembahasan
Ranperda, apalagi Ranperda tentang RAPBD menurut Wakil Bupati Halmahera Tengah,
harus turut melibatkan masyarakat karena ini adalah uang masyarakat tapi ada
versi lain mengatakan bahwa masyarakat tidak perlu dilibatkan karena ini
bersifat rahasia, padahal walaupun dirahasiakan namun pada akhirnya masyarakat
juga akan mengetahuinya[30]
Kesimpulan dan saran
a.
kesimpulan
Hubungan DPRD dengan jajaran Eksekutif
Daerah Kabupaten Halmahera Tengah dalam proses Pembuatan Raperda belum berjalan
secara harmonis karena berdasarkan hasil penelitian, bahwa Raperda yang dibahas
selama dua periode adalah Raperda yang diajukan oleh Eksekutif, sehingga
terkesan bahwa dalam pembuatan Raperda di Kabupaten Halmahera Tengah masih di
dominasi oleh Eksekutif, sementara DPRD belum memaksimalkan hak dan fungsi
legislasinya.
Dalam proses
pembuatan Raperda belum melalui tahapan serta mekanisme atau tata urutan
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, hal ini terjadi misalnya dalam
pembahasan Raperda yang seharusnya setelah adanya tanggapan dari lembaga
eksekutif atau kepala daerah atas keterangan atau penjelasan pada tahap I,
setelah itu adalah tahap pembahasan di internal DPRD atas tanggapan dari
eksekutif, tahapan inilah yang selalu diabaikan.
b.
saran
1. Bagi DPRD Kabupaten Halmahera Tengah
agar segera membentuk sebuah Badan Legislasi yang nantinya dapat menyusun Program
Legislasi Daerah, melakukan koordinasi dengan Pemerintah Daerah, serta
menyiapkan rancangan peraturan daerah usul DPRD berdasarkan program prioritas
yang telah ditetapkan. DPRD juga harus dapat menggunakan hak-haknya secara
maksimal, terlebih lagi adalah hak inisiatifnya.
2. Bagi Lembaga Eksekutif, agar selalu
melakukan koordinasi dengan Legislatif, baik dalam proses Ranperda maupun
perubahan Perda, serta sosialisasi Ranperda maupun Perda yang telah disahkan
3. Untuk kedua lembaga (Eksekutif dan
Legislatif) perlu membuat sebuah perda tentang keterlibatan masyarakat dalam
Proses Pembuatan Ranperda, karena keterlibatan masyarakat adalah keharusan
dalam berdemokrasi.
DAFTAR
PUSTAKA
A. LITERATUR
Jimly Asshiddiqie, 2009, Menuju Negara hukum yang demokratis, PT. Bhuana Ilmu Populer,
Jakarta.
Krishna D. Darumurti, 2003, Otonomi Daerah Perkembangan Pemikiran, Pengaturan dan Pelaksanaan,
PT. Citra Aditya Bakti, cetakan ke II, Bandung.
Maria
Farida Indrati S. 2003, Ilmu
perundang-undangan 1, Kanisius, Yogyakarta.
Ni’matul Huda, 2010, Problematika Pembatalan Peraturan Daerah, FH UII PRESS, Cet
Pertama. Yogyakarta.
B.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR,
DPR, DPD dan DPRD.
UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
Peraturan Bupati Halmahera Tengah
Nomor 14 Tahun 2008 tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi
Sekretariat Daerah Kabupaten Halmahera Tengah.
C.
INTERNET
Boy Yendra Tamin, kemitraan legislative dan eksekutif dalam
konteks pembuatan peraturan daerah. www. Google.com.
Sofyan Arif, Kinerja
DPRD Dalam Melaksanakan Kekuasaan Legislasi, Study di DPRD Kota Malang, www.google.com. 27/07/2010.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=38,Disampaikan
dalam sambutan pada acara Temu Wicara Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Sistem
Ketatanegaraan RI untuk Pimpinan dan Anggota ADEKSI, Kamis (7/6); di
Jakarta. 2007.
Tag: DPRD, Fungsi DPRD, Kelengkapan
Dewan, LEGISLASI, www.Legalitas.org, 15-02-2010.
Wicipto Setiadi, Proses
pengharmonisasian sebagai upaya meningkatkan kualitas Peraturan
Perundang-undangan, www.google.com.
Yusril Ihza Mahendra, Praktik ketatanegaraan kita ke depan, www.yusril.ihzamahendra.com.
Yusril Ihza Mahendra, Penguatan Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah: Sebuah Tinjauan Dari Segi Konstitusionalisme, 24 Februari 2010, www.setneg.go.id.
Yance Arizona, Disparitas
Pengujian Peraturan Daerah, www.legalitas.org,
Desember 2007.
D. SURAT KABAR
Lexy
Armanjaya, Harian Umum sore, © Sinar Harapan, Jakarta 2003.
[1] Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara hukum yang demokratis, Bhuana
ilmu populer, Jakarta, hlm.3.
[2] Yusril Ihza Mahendra, Praktik ketatanegaraan kita ke depan, www.yusril.ihzamahendra.com, 11-12-2009.
[3] Ditulis
dalam Kajian |Tag: DPRD, Fungsi DPRD, Kelengkapan
Dewan, LEGISLASI, www.Legalitas.org, 15-02-2010
[4] Maria
Farida Indrati S. Ilmu Perundang-undangan
1, Kanisius, Yogyakarta, 2007, hlm. 51
[5] Ibid, hlm. 53.
[6]Boy Yendra Tamin, Artikel, kemitraan legislative dan eksekutif dalam
konteks pembuatan peraturan daerah. www. Google.com. 27-03-2010
[7] UU No.
32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah,
Pustaka Pelajar, Cet-II Yogyakarta, 2007 hlm. 4-5
[8]Ibid, hlm. 1
[9] Krishna
D. Darumurti, CS, Otonomi Daerah
perkembangan pemikiran, pengaturan dan pelaksanaan, PT. Citra Aditya Bakti, cetakan ke II, Bandung
2003, hlm. 17
[10] http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=38, Disampaikan dalam sambutan pada acara Temu Wicara Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Sistem
Ketatanegaraan RI untuk Pimpinan dan Anggota ADEKSI, Kamis (7/6); di
Jakarta. 2007
[11] Lexy
Armanjaya, Harian Umum sore, Jakarta,
Sinar Harapan 2003.
[12] Wicipto
Setiadi, Proses pengharmonisasian sebagai
upaya meningkatkan kualitas Peraturan Perundang-undangan, www.google.com
[13] Yusril Ihza Mahendra, Penguatan Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah: Sebuah Tinjauan Dari Segi Konstitusionalisme, 24 Februari 2010, www.setneg.go.id
[14]
Gawi Abbas, Wakil Bupati Halmahera Tengah, Diwawancarai di kediamannya, 15
Juli, 2010, Pkl. 20:01:WIT
[15]Abd.
Rahim Odeyani (Ketua DPRD Halteng), wawancara, 10 juli 2010. Pkl. 20:20:WIT
[16]
Sofyan Arif, Kinerja DPRD Dalam
Melaksanakan Kekuasaan Legislasi, Study di DPRD Kota Malang,
www.google.com.27/07/2010
[17]
Gawi Abbas, Wakil Bupati Halmahera Tengah, Diwawancarai di kediamannya, 15
Juli, 2010, 20:01:WIT
[18]
Ni’matul Huda, Problematika Pembatalan
Peraturan Daerah, FH UII PRESS, Cet Pertama, Juni 2010, hlm. 41
[19] Op.Cit
[20] Kabag.
Hukum Pemda Halteng
[21]
Nurhayati Rais, (Wakil Ketua DPRD Halmahera Tengah) Wawancara.
[22] Ismail,
Kabag. Hukum Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Tengah (Wawancara), 16 Juli,
Pkl. 10.30 WIT.
[23] Gawi
Abbas, Wakil Bupati Halmahera Tengah, Diwawancarai di kediamannya, 15 Juli,
2010, 20:01:WIT
[24] Op-Cit
[25] Nurhayati
Rais, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Halmahera Tengah (Wawancara).
[26] Nurhayati
Rais, Wakil Ketua DPRD Kab. Halmahera Tengah, (Wawancara)
[27] Abd.
Rahim Odeyani, Ketua DPRD Kab. Halmahera Tengah (Wawancara)
[28]
Bagian organisasi, Peraturan Bupati
Halmahera Tengah Nomor 14 Tahun 2008
Tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Sekretariat Daerah Kabupaten
Halmahera Tengah.
[29] Basri,
(Staf Bag. Hukum) Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah, (Wawancara) 29 Juni,
Pkl. 11.00 WIT.
[30] Gawi Abbas, (Wakil Bupati Halmahera
Tengah) wawancara, 15 Juli 2010, Pkl. 20:01 WIT