Senin, 15 April 2013

QUO VADIS PEMEKARAN DAERAH DAN CITA-CITA NEGARA KESEJAHTERAAN (WALFARE STATE)



Oleh
Udin Latif, S.H

Abstract
Perkembangan zaman disertai tuntutan kebutuhan hidup yang semakin meningkat, sejalan dengan perkembangan peranan Negara yang semakin besar dan luas, yakni menyelenggarakan kesejahteraan umum yang disebut Walefare State. Pemekaran Daerah menjadi salah satu aspek penting dari pelaksanaan otonomi daerah saat ini, yang secara normatif bertujuan untuk memperkuat hubungan antara pemerintah daerah dan masyarakat lokal. Tulisan ini bertujuan untuk mengungkap latar belakang Pemekaran Daerah, proses Pemekaran Daerah, perkembangan daerah pemekaran serta implikasinya terhadap perwujudan cita-cita negara kesejahteraan.

A.    PENDAHULUAN
Sejak berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka mencairlah sentralisme kekuasaan yang selama ini berkembang pada masa Orde Baru. Pemekaran daerah secara intensif berkembang di Indonesia sebagai salah satu jalan untuk pemerataan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Setelah berjalan lebih dari 11 tahun, banyak pihak ragu apakah tujuan pemekaran tersebut dapat tercapai atau tidak. Meski saat ini pemekaran tidak dapat dielakkan lagi dalam situasi politik yang terjadi.
Presiden SBY saat menyampaikan keterangan pemerintah atas RUU tentang APBN tahun 2010 dalam Rapat Paripurna Luar Biasa DPR di Jakarta, Presiden Susilo Bambang Yudoyono menyatakan bahwa pemekaran dan pembentukan daerah baru perlu dievaluasi agar tidak menjadi beban keuangan Negara[1]. Pernyataan tersebut didukung oleh fakta sebagian besar daerah pemekaran justru membebani keuangan Negara. Daerah pemekaran belum dapat memperlihatkan peningkatan pembangunan daerah setempat, sehingga pelaksanaan pemekaran daerah belum mencapai tujuan otonomi daerah.
Gerakan reformasi membawa perubahan lahirnya kembali semangat otonomi daerah, sehingga Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 mendapat sambutan hangat oleh masyarakat di daerah. Dalam perjalanannya Undang-undang ini banyak kelemahan, terbukti bahwa banyak konflik horizontal yang timbul baik persoalan pengelolaan sumber daya alam[2] sampai pada persoalan batas wilayah baik antar Kabupaten/kota maupun antar provinsi.
Sejak otonomi daerah diberlakukan, proses pemekaran terjadi begitu pesat dan cenderung tidak terkendali. Sejak 1999 telah terbentuk 205 daerah otonom baru yang terdiri dari 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota. Dengan begitu, sampai saat ini total daerah otonom adalah 534 daerah dengan perincian 33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota[3]. Keuangan negara yang seharusnya bisa digunakan untuk kesejahteraan rakyat menjadi beralih untuk membiayai keperluan administrasi pemerintahan daerah pemekaran.
Pasal 5 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 jo Pasal 2 (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memberi peluang bagi daerah untuk membentuk atau memekarkan daerah, sehingga lahirlah daerah-daerah pemekaran baru yang syarat dengan persoalan-persoalan baru mulai dari masalah budaya, ekonomi, politik, agama dan bahkan konflik batas wilayah. Pemekaran atau pembentukan daerah otonom baru ternyata tidak serta-merta dapat menciptakan keadaan lebih baik akan tetapi bagi sebagian daerah masih banyak meninggalkan persoalan yang berlarut-larut dan bahkan hingga saat ini belum banyak persoalan dapat diselesaikan.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang selanjutnya digantikan oleh Undang- undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, diharapkan oleh banyak kalangan dapat menjawab persoalan-persoalan yang belum mampu terjawab oleh Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999. Pembentukan atau pemekaran daerah dirasakan sebagai suatu kebutuhan saat itu, untuk mewujudkan upaya peningkatan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan serta untuk lebih mempercepat terwujudnya pemerataan kesejahteraan masyarakat. Disamping itu untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan penciptaan rentang kendali pengawasan lebih efektif.
Dasar pemikiran di atas sebagai awal lahirnya gagasan untuk melakukan pemekaran Daerah Provinsi maupun Kabupaten/kota di daerah-daerah. Daerah-daerah yang baru dibentuk atau dimekarkan sering kali menimbulkan mobilisasi konflik antar daerah maupun batas wilayah dengan berbagai argumen dan alasan sehingga cenderung memperkeruh persoalan.
Sekian banyak produk hukum yang mengatur tentang program Otonomi Daerah yang dikeluarkan, hampir semuanya tidak berjalan secara maksimal. Lihat saja, sebelum era reformasi berhasil digulirkan pada tahun 1998, peraturan tentang Program Otonomi Daerah tersebut sudah mengalami beberapa kali perubahan. Mulai dari UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957, UU No. 18 Tahun 1965, dan UU No. 5 Tahun 1974. Di era reformasi, muncul lagi UU No. 22 Tahun 1999 dan disusul UU No. 32 tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan UU No 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. Semua peraturan tersebut pada prinsipnya membahas tentang idealisme otonomi daerah yang dalam tataran impelementasinya justru diikuti dengan kebijakan-kebijakan “eksploitatif” di tingkat daerah dalam mengatur dan mengelola potensi daerahnya[4].
Di samping belum dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk daerah setempat, di sisi lain pemekaran daerah justru menimbulkan konflik keruangan seperti yang terjadi di kabupaten Mamasa propinsi Sulawesi Barat, perebutan pulau Berhala antara propinsi Riau Kepulauan dan propinsi Jambi, perebutan salah satu pulau di kepulauan Seribu antara propinsi DKI Jakarta, propinsi Banten[5], dan perebutan pulau Sain antara kabupaten Halmahera Tengah dan Kabupaten Raja Ampat. Berbagai persoalan tersebut merupakan sebagian permasalahan yang menyangkut pelaksanaan prinsip desentralisasi/otonomi dan pemekaran daerah. Lalu bagaimanakah implementasi Pemekaran Daerah yang dapat mensejahterakan rakyat?

B.     PEMBAHASAN
1.      Tinjauan Historis Pemekaran Daerah di Indonesia
Istilah “Pemekaran Daerah” kini lazim dipakai untuk menggambarkan fenomena kelajuan pertambahan daerah otonom baru di Indonesia[6]. Analisis tentang wilayah atau daerah belum banyak ditemukan di dalam literatur-literatur, sehingga ditemukan sedikit kesulitan di dalam merumuskan konsep-konsep teoritik tentang Daerah. Kemudian antara sebutan Daerah dan Wilayah tidak berhasil ditemukan adanya perbedaan, bahkan kedua sebutan ini sering dipertukarkan di dalam pemakaian sehari-hari. Oleh para ahli, batasan mengenai ilmu wilayah diartikan sebagai berikut:
Ilmu wilayah adalah suatu ilmu yang mempelajari wilayah terutama sebagai suatu sistem, khususnya yang menyangkut hubungan interaksi dan interpendensi antara subsistem utama, ekosistem dengan sub sistem utama sosial sistem, serta kaitannya dengan wilayah-wilayah lainnya dalam membentuk suatu kesatuan wilayah guna pengembangan termasuk penjagaan kelestarian wilayah tersebut. Lebih lanjut beberapa ahli mendefinisikan wilayah sangat berbeda satu sama lain karena kepentingan dan latar belakang yang berbeda pula[7]. Sebagaimana dikutip oleh Hadi Sabari dari beberapa pakar, yaitu: T.J.Wofter[8], R.S. Platt[9], P. Vidal dela Blache[10], A.J. Herbertson[11] dan Taylor[12].
Batasan dan pengertian yang diberikan oleh para Ahli diatas dapat dikelompokkan adanya 3 pandangan tentang wilayah yaitu, dari sudut pandang Humaniora (kemanusiaan), natural fenomena (gejala alamiah) dan geographycal fenomena (gejala geografi). Dengan demikian, dari pandangan-pandangan diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa perwilayahan adalah usaha untuk membagi-bagi permukaan bumi atau bagian dari permukaan bumi tertentu untuk tujuan yang tertentu pula dengan kriteria seperti administratif, politik, ekonomi, sosial, kultural, fisik, geografis dan sebagainya. Selanjutnya perwilayahan tersebut membentuk organisasi dan kelembagaan dengan program berbagai variabelnya antara lain kepemimpinan, doktrin, program, sumber-sumber daya (Alam dan manusia) dan struktur intern lainnya[13].
Sedangkan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, sebagimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, yang dimaksud dengan “Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”[14]
Secara legal formal, pembentukan daerah atau dalam hal ini pemekaran daerah tidak bisa dilakukan secara serampangan, terbukti adanya berbagai persyaratan dan kriteria yang harus dipenuhi dalam melakukan pemekaran. Dalam hubungan ini, tentunya dapat ditelusuri hadirnya berbagai faktor yang melatarbelakangi pemekaran daerah, implikasi yang ditimbulkannya, dan kriteria-kriteria yang dapat ditawarkan dalam melakukan pemekaran daerah di Indonesia.
Dalam catatan sejarah kolonial, usaha merealisasikan desentralisasi pemerintahan di tanah koloni ini yang pada saat itu disebut Nederlands-Indie, sekarang dikenal dengang Republik Indonesia bermula pada tahun 1903. Pada tahun ini diundangkanlah apa yang dikenal dengan Wet Houdende Desentralisatie van Het Bestuur in Nederlands-Indie. Undang-undang yang dipopulerkan dengan nama singkatannya Decentralisatie Wet 1903, tercatat dalam sejarah sebagai Undang-undang yang dibentuk guna merespons atas tuntutan Europese Burgerij. Warga-warga eropa yang berkoloni di kota-kota kolonial waktu itu mengajukan tuntutan agar dapat berbicara dalam ihwal penggunaan dana-dana publik lewat pelibatan diri dalam soal penganggaran dana-dana pemerintah yang disediakan untuk pengadaan fasilitas kehidupan warga kota setempat.[15] Walau desentralisasi di Hindia Belanda ini ditilik dari sisi yuridis formalnya baru dinyatakan bermula pada tahun 1903, akan tetapi ide, wacana, tuntutan-tuntutan dan sehubungan hal itu juga kajian-kajian yang mendahului terbentuknya Decentralisatie Wet 1903 sebenarnya sudah berlangsung amat lama sebelumnya. Hanya pertimbangan-pertimbangan pragmatik mengenai kondisi riil di lapangan dan juga alasan yuridis konstitusional sebelum diubahnya Grondwet (Undang-Undang Dasar) Kerajaan Belanda sajalah yang memotifasi pengambil kebijakan kolonial untuk mempertahankan terlebih dahulu model sentralisme pemerintahan.[16]
Benih otonomi di Indonesia, sebenarnya berasal dari politik etis (ethische politiek) yang dijalankan oleh pemerintah Hindia Belanda. Maksud semula politik etis adalah untuk meningkatkan kecerdasan dan kehidupan sosial ekonomi rakyat Indonesia, namun didalam perkembangannya hasil yang menonjol justru kemunculan dan pertumbuhan gerakan-gerakan politik kaum cendikiawan pada masa itu yang bertujuan menuntut hak bangsa Indonesia untuk turut berperan dalam penentuan lapangan ketatanegaraan. Perkembangan demikian itulah yang mendorong pemerintah belanda melakukan perubahan-perubahan dalam lapangan ketatanegaraan untuk mengimbangi gerakan-gerakan kebangsaan dan kemudian terhadap gerakan kemerdekaan yang dipelopori kaum cendikiawan bangsa Indonesia.
Perubahan ketatanegaraan yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda, antara lain dengan memberikan otonomi pada badan-badan politik setempat[17]. Pada masa ini pulalah, Pemerintah Belanda memberikan pengalaman panjang Indonesia terhadap bentuk otonomi bertingkat, yaitu dengan adanya hubungan hirarkhis antara daerah otonom yang tingkatannya lebih rendah dengan daerah otonom yang tingkatannya lebih tinggi seperti propinsi dan kabupaten atau kotamadya/kota dan kelurahan atau desa. Sebagaimana kelak disadari, pada akhirnya bentuk otonomi bertingkat ini selalu menjadi bayang-bayang yang mengikuti kemanapun pelaksanaan otonomi daerah-daerah Indonesia[18].
Perjalanan Sejarah Pemekaran sejak berdirinya Republik Indonesia pada tahun 1945, Indonesia terbagi dalam 8 provinsi yaitu Sumatera, Kalimantan (dahulu dikenal dengan nama Borneo), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku dan Sunda Kecil. Hingga periode tahun 1950, bentuk dan wilayah Indonesia mengalami perubahan berkaitan dengan masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Pada Tahun 1950, Indonesia memiliki 11 provinsi dengan dibaginya Sumatera menjadi 3 Provinsi(Sumatera Utara, Sumatera tengah, Sumatera Selatan) dan dibentuknya provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta[19]. Tahun 1956 Indonesia memiliki 17 provinsi dengan dibaginya Kalimatan menjadi 3 provinsi[20], dibaginya Sumatera Tengah menjadi 3 Provinsi[21]. Kemudian diundangkan dalam Undang-undang Nomor 61 tahun 1958, dibentuknnya provinsi Daerah Istimewa Aceh terpisah dari Sumatera Utara[22] dan dibentuknnya provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta terpisah dari Jawa Barat. Tahun 1957 Indonesia memiliki 18 Provinsi dengan dibentuknya provinsi Kalimantan Tengah Terpisah dari Kalimantan Selatan[23]. Tahun 1959 Indonesia memiliki 21 provinsi dengan dibaginya Sunda Kecil menjadi 3 provinsi[24] Sedangkan UU No.27 Tahun 1959 memisahkan bagian utara dari daerah Kabupaten Kotabaru dan memasukkan wilayah itu ke dalam kekuasaan Propinsi Kalimantan Timur, dibaginya Sulawesi menjadi 2 provinsi[25].
Tahun 1964 Indonesia memiliki 24 provinsi dengan dibentuknya provinsi Lampung terpisah dari Sumatera Selatan, dibentuknya provinsi Sulawesi Tengah terpisah dari Sulawesi Utara, serta dibentuknya provinsi Sulawesi Tenggara terpisah dari Sulawesi Selatan[26]. Tahun 1967 Indonesia memiliki 25 provinsi dengan dibentuknya provinsi Bengkulu terpisah dari Sumatera Selatan. Tahun 1969 Indonesia memiliki 26 provinsi dengan dibentuknya Irian menjadi provinsi setelah PBB secara resmi menyerahkan Irian Barat kembali kepada Indonesia pada tahun 1963.
Tahun 1975 Indonesia memiliki provinsi ke-27 setelah Timor Timur Resmi bergabung dalam kedaulatan Republik Indonesia, hingga memisahkan diri menjadi Negara merdeka pada tahun 1999. 1999 Indonesia kembali memiliki 27 provinsi dengan dibentuknya provinsi Maluku Utara terpisah dari Maluku berdasarkan UU Nomor 46 Tahun 1999.
Tahun 2000 Indonesia memiliki 30 provinsi dengan dibentuknya provinsi Banten terpisah dari Jawa Barat, dibentuknya provinsi Bangka Belitung terpisah dari Sumatera Selatan, serta dibentuknya provinsi Gorontalo terpisah dari Sulawesi Utara. Tahun 2001 Indonesia memiliki 31 provinsi dengan dibentuknya provinsi Irian Jaya Barat terpisah dari Irian yang berganti nama menjadi provinsi Papua. Tahun 2002 Indonesia memiliki 32 provinsi dengan dibentuknya provinsi Kepulauan Riau terpisah dari Riau. Tahun 2004 Indonesia memiliki 33 provinsi dengan dibentuknya provinsi Sulawesi Barat terpisah dari Sulawesi Selatan. Hingga saat ini, Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari 33 Provinsi dengan lebih dari 400 Kabupaten/Kota[27].

2.      Implementasi Pemekaran Daerah dan Implikasi Sosialnya
UUD 1945 tidak mengatur perihal pembentukan daerah atau pemekaran suatu wilayah secara khusus, namun disebutkan dalam Pasal 18B ayat (1) bahwa, “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.”[28] Pemekaran Daerah di Indonesia mulai berkembang pesat sejak UU No 22 Tahun 1999 mengenai Pemerintah Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah ditetapkan. Sebelum kedua UU tersebut berlaku, jumlah daerah otonom adalah sebanyak 249 kabupaten, 65 kota, dan 27 provinsi. Di akhir Desember 2007, jumlahnya menjadi 370 kabupaten, 95 kota dan 33 provinsi[29]. Perkembangan pesat tersebut tidak terlepas dari dampak desentralisasi, yakni pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Ditengah euforia dan mainstream publik yang begitu kuat dan mengakar tentang impian program pemekaran Daerah, tentunya akan menjadi tantangan berat bagi pemerintah pusat untuk menghalangi keinginan yang berkembang di daerah. Padahal jika bangsa ini ingin belajar dari pengalaman-pengalaman yang pernah ada sebelumnya, penyelenggaraan program pemekaran Daerah bukanlah seperti apa yang dibayangkan, melainkan ditingkat lapangan, prakteknya jauh dari yang diharapkan[30]. BPK mengingatkan kalau secara umum hasil pemeriksaan kinerja yang dilakukan BPK menunjukkan tidak terpenuhinya standar pelayanan minimum dan tidak tercapainya sasaran yang telah ditetapkan. Khusunya dari aspek pelayanan dan administrasi yang menyangkut hajat hidup orang banyak tidak sesuai. Pembentukan daerah otonomi baru yang kadang diusung dari inisiatif DPR sering kali mengabaikan ketentuan proses. Proses tersebut termasuk di dalamnya kesiapan daerah untuk mandiri[31].
Pemikiran yang mendasari lahirnya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah adalah dalam rangka memberikan keleluasaan kepada Daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang dilakukan dengan prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, kemandirian, menjaga keserasian hubungan dengan Pemerintah Pusat serta memperhatikan potensi dan keberagaman daerah. Selain itu, Guna menghadapi persaingan global.
Saat mulai berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, menyebabkan terjadinya perubahan yang fundamental terhadap elemen-elemen Pemerintahan Daerah serta memerlukan penataan-penataan yang sistematis. Elemen-elemen utama yang membentuk Pemerintah Daerah itu adalah:[32]
a.       Adanya urusan otonomi yang merupakan dasar dari kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri;
b.      Adanya kelembagaan yang merupakan pewadahan dari otonomi yang diserahkan kepada Daerah;
c.       Adanya personil (pegawai daerah) untuk menjalankan urusan otonomi;
d.      Adanya sumber keuangan untuk pembiayaan pelaksanaan otonomi;
e.       Adanya unsur perwakilan rakyat yang merupakan perwujudan demokrasi di daerah; dan
f.       Adanya manajemen pelayanan umum (public service).
Tujuan-tujuan yang ingin diperoleh dari adanya penataan tersebut terdiri dari:
a.       Tujuan utama yaitu bagaimana dengan penataan kewenangan, kelembagaan, personil, keuangan, perwakilan dan manajemen urusan otonomi tersebut akan dapat memberdayakan Pemerintah Daerah agar mampu menjalankan tugasnya sebagai Daerah Otonom dengan baik.
b.      Tujuan politis yaitu memposisikan Pemerintah Daerah sebagai instrumen pendidikan politik ditingkat lokal yang secara agregat akan menyumbangkan pendidikan politik secara nasional sebagai elemen dasar menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa.
c.       Tujuan administratif yaitu mengisyaratkan Pemerintah Daerah akan mencapai efisiensi dan efektifitas dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya dalam artian bertindak dan menggunakan dana publik.
Berdasarkan uraian diatas tersirat bahwa dimungkinkan adanya pembentukan daerah otonom yang baru, diantaranya yang ditempuh melalui cara pemekaran daerah. Pemekaran Daerah sendiri dimaksudkan adalah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat[33].
Sejak berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 hingga UU No. 32 Tahun 2004 jo UU No 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, sama sekali belum ada praktek penggabungan antar daerah di Indonesia, bahkan indikasi gejala usulan penggabungan daerahpun tidak pernah ada. Sementara itu, kondisi sebaliknya banyak sekali terjadi. Usulan dan kebijakan pemekaran daerah sangat banyak terjadi dan upaya-upaya untuk melakukan pemekaran daerah terus saja terjadi.
Kebijakan pemekaran daerah yang signifikan tidak didorong oleh latar belakang yang seragam, dan tidak pula membawa dampak yang sama. Pemekaran di masing-masing daerah mempunyai kekhasannya sendiri yang tidak mudah untuk digeneralisasikan. Namun demikian, perlu dilakukan identifikasi dampak pemekaran secara umum. Dampak ini tidak hanya terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan publik dan pembangunan di tingkat nasional, tetapi juga dampak sosial, politik dan ekonominya di tingkat daerah.
UU tentang Pemerintahan Daerah kiranya perlu dievaluasi untuk mencegah semangat kedaerahan yang berlebihan. Ketentuan mengenai pemilihan kepala daerah ada baiknya juga dikaji ulang untuk mencegah politik biaya tinggi, yang dapat membawa implikasi terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme di daerah. Seringnya Pilkada, baik gubernur, bupati/Walikota, bahkan sampai pada pemilihan kepala desa dan kepala dusun, disamping berpotensi menimbulkan instabilitas politik di daerah, juga dapat memalingkan perhatian rakyat dari pembangunan sosial ekonomi ke bidang politik[34].
Mengambil pelajaran dari studi-studi yang dilakukan oleh beberapa lembaga riset, seperti Percik, LIPI dan beberapa lembaga lainnya, dampak sosial dan politik kebijakan pemekaran daerah secara umum sangat tidak mudah untuk disimpulkan apakah pemekaran daerah berdampak positif ataukah negatif. Di setiap dimensi, baik sosio-kultural, politik dan pemerintahan, serta pelayanan publik dan pembangunan ekonomi, dampak pemekaran selalu bermata ganda: bisa positif, tetapi pada saat yang sama juga bersifat negatif. Belum lagi apabila dampak tersebut diletakkan dalam skala yang berbeda: dalam skala daerah ataukah dalam skala nasional.
Atas pertimbangan tersebut, gambaran tentang dampak pemekaran dalam tulisan ini diletakkan dalam wajah ganda. Menghindari ataupun meminimalisasi dampak negatif pada dasarnya adalah mengelola proses kebijakan pemekaran dan proses pasca pemekaran, diantaranya:
a.       Dampak Sosio Kultural
Dimensi sosial, politik dan kultural, bisa dikatakan bahwa pemekaran daerah mempunyai beberapa implikasi positif, seperti pengakuan sosial, politik dan kultural terhadap masyarakat daerah. Melalui kebijakan pemekaran, sebuah entitas masyarakat yang mempunyai sejarah kohesivitas dan kebesaran yang panjang, kemudian memperoleh pengakuan setelah dimekarkan sebagai daerah otonom baru. Pengakuan ini memberikan kontribusi positif terhadap kepuasan masyarakat, dukungan daerah terhadap pemerintah nasional, serta manajemen konflik antar kelompok atau golongan dalam masyarakat.
Namun demikian, kebijakan pemekaran juga bisa memicu konflik antar masyarakat, antar pemerintah daerah yang pada gilirannya juga menimbulkan masalah konflik horisontal dalam masyarakat. Sengketa antara pemerintah daerah induk dengan pemerintah daerah pemekaran dalam hal pengalihan aset dan batas wilayah, juga sering berimplikasi pada ketegangan antar masyarakat dan antara masyarakat dengan pemerintah daerah.
b.      Dampak Pada Pelayanan Publik
Dimensi pelayanan publik, pemekaran daerah memperpendek jarak geografis antara pemukiman penduduk dengan sentra pelayanan, terutama ibukota pemerintahan daerah. Pemekaran juga mempersempit rentang kendali antara pemerintah daerah dengan unit pemerintahan di bawahnya. Pemekaran juga memungkinkan untuk menghadirkan jenis-jenis pelayanan baru, seperti pelayanan listrik, telekomunikasi, serta fasilitas urban lainnya, terutama di wilayah ibukota daerah pemekaran.
Tetapi, pemekaran juga menimbulkan implikasi negatif bagi pelayanan publik, terutama pada skala nasional, terkait dengan alokasi anggaran untuk pelayanan publik yang berkurang. Hal ini disebabkan adanya kebutuhan belanja aparat dan infrastruktur pemerintahan lainnya yang bertambah dalam jumlah yang signifikan sejalan dengan pembentukan DPRD dan birokrasi di daerah hasil pemekaran. Namun, kalau dilihat dari kepentingan daerah semata, pemekaran bisa jadi tetap menguntungkan, karena daerah hasil pemekaran akan memperoleh alokasi DAU dalam posisinya sebagai daerah otonom baru.
c.       Dampak Bagi Pembangunan Ekonomi
Pasca terbentuknya daerah otonom baru, terdapat peluang yang besar bagi akselerasi pembangunan ekonomi di wilayah yang baru diberi status sebagai daerah otonom dengan pemerintahan sendiri. Bukan hanya infrastruktur pemerintahan yang terbangun, tetapi juga infrastruktur fisik yang menyertainya, seperti infrastruktur jalan, transportasi, komunikasi dan sejenisnya. Selain itu, kehadiran pemerintah daerah otonom baru juga memungkinkan lahirnya infrastruktur kebijakan pembangunan ekonomi yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah otonom baru. Semua infrastruktur ini membuka peluang yang lebih besar bagi wilayah hasil pemekaran untuk mengakselerasi pembangunan ekonomi.
Namun, kemungkinan akselerasi pembangunan ini harus dibayar dengan ongkos yang mahal, terutama anggaran yang dikeluarkan untuk membiayai pemerintahan daerah, seperti belanja pegawai dan belanja operasional pemerintahan daerah lainnya. Dari sisi teoritik, belanja ini bisa diminimalisir apabila akselerasi pembangunan ekonomi daerah bisa dilakukan tanpa menghadirkan pemerintah daerah otonom baru melalui kebijakan pemekaran daerah. Melalui kebijakan pembangunan ekonomi wilayah yang menjangkau seluruh wilayah, akselerasi pembangunan ekonomi tetap dimungkinkan untuk dilakukan dengan harga yang murah. Namun, dalam perspektif masyarakat daerah, selama ini tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa pemerintah nasional akan melakukannya tanpa kehadiran pemerintah daerah otonom.
d.      Dampak Pada Pertahanan, Keamanan dan Integrasi Nasional
Pembentukan daerah otonom baru, bagi beberapa masyarakat pedalaman dan masyarakat di wilayah perbatasan dengan negara lain, merupakan isu politik nasional yang penting. Bagi masyarakat tersebut, bisa jadi mereka tidak pernah melihat dan merasakan kehadiran 'Indonesia', baik dalam bentuk simbol pemerintahan, politisi, birokrasi dan bahkan kantor pemerintahan. Bahkan, di beberapa daerah seperti di pedalaman Papua, kehadiran 'Indonesia' terutama ditandai dengan kehadiran tentara atas nama pengendalian terhadap gerakan separatis. Pemekaran daerah otonom, oleh karenanya, bisa memperbaiki penangan politik nasional di daerah melalui peningkatan dukungan terhadap pemerintah nasional dan menghadirkan pemerintah pada level yang lebih bawah.
Tetapi, kehadiran pemerintahan daerah otonom baru ini harus dibayar dengan ongkos politik yang sangat mahal. Apabila pengelolaan politik selama proses dan pasca pemekaran tidak bisa dilakukan dengan baik, sebagaimana terbukti pada beberapa daerah hasil pemekaran, ketidak mampuan untuk membangun inklusifitas politik antar kelompok dalam masyarakat mengakibatkan munculnya tuntutan untuk memekarkan lagi daerah yang baru saja mekar. Untuk mempersiapkan upaya pemekaran ini, proses pemekaran unit pemerintahan terbawah, seperti desa untuk pemekaran kabupaten dan pemekaran kabupaten untuk mempersiapkan pemekaran provinsi, merupakan masalah baru yang perlu untuk diperhatikan.
Identifikasi dampak pemekaran tersebut membawa kita pada kesimpulan bahwa banyak dampak negatif yang perlu diminimalisasi. Esensi kebijakan yang perlu dilakukan merasionalisasi proses kebijakan pemekaran, baik proses pengusulan pemekaran yang dilakukan oleh daerah, maupun proses penetapan pemekaran yang dilakukan di tingkat pusat.[35]
3.      Syarat-syarat Pembentukan/Pemekaran Daerah
UU No. 32 Tahun 2004 jo UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, Secara lebih khusus mengatur ketentuan mengenai pembentukan daerah dalam Bab II tentang Pembentukan Daerah dan Kawasan Khusus. Dapat dianalogikan, masalah pemekaran wilayah juga termasuk dalam ruang lingkup pembentukan daerah. UU Nomor 32 Tahun 2004 menentukan bahwa “pembentukan suatu daerah harus ditetapkan dengan undang-undang tersendiri”[36]. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 4 ayat (1). Kemudian, ayat (2) pasal tersebut menyebutkan bahwa “Undang-undang pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain mencakup nama, cakupan wailayah, batas, ibu kota, kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukan penjabat kepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan, peralatan, dokumen, serta perangkat daerah.”[37]
Legalisasi pemekaran wilayah dicantumkan dalam pasal yang sama pada ayat (3) yang menyatakan bahwa, “Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih.” Dan ayat (4) menyebutkan, “Pemekaran dari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan.”[38] Namun demikian, pembentukan daerah hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.
4.  Evaluasi Pemekaran Daerah
Krisis multidimensi dan ancaman disintregasi dewasa ini tidak semata-mata bersumber pada kesalahan bentuk negara, tapi lebih pada format politik sentralistik-otoriter dan struktur ekonomi kapitalistik-eksploitatif warisan orde baru. Karena itu, pemberian otonomi bagi Daerah tidak bisa dipandang sebagai agenda yang terpisah dari agenda demokratisasi kehidupan bangsa. Kesalahan aplikasi kebijakan pemerintahan daerah melalui UU No. 5 Tahun 1974 di masa orde baru antara lain karena tujuan utama dari kebijakan tersebut lebih dititik beratkan pada upaya menciptakan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah, ketimbang sebagai agenda yang menyatu dengan proses demokratisasi[39].
Dalam rangka implementasi otonomi daerah, dilakukan pula evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Ini merupakan amanat UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Evaluasi menyangkut tiga elemen, yaitu Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (EKPPD), Evaluasi Kemampuan Penyelenggaraan Otonomi Daerah (EKPOD), dan Evaluasi Daerah Otonom Baru (EDOB).
Dalam Ketentuan Umum PP No. 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daera, dinyatakan bahwa Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah  (EKPPD) adalah suatu proses pengumpulan dan analisis data secara sistematis terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan menggunakan sistem pengukuran kinerja[40]. Evaluasi kinerja dilaksanakan setiap tahun oleh pemerintah dan diberlakukan pada seluruh daerah otonom. Kepala daerah telah diwajibkan menyampaikan laporannya.Tujuannya adalah agar pemerintah memperoleh umpan balik sebagai dasar bagi pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hasil evaluasi kemampuan daerah akan menjadi bahan dasar bagi Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah dalam memberikan pertimbangan kepada Presiden RI dalam hal perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta pembentukan, penghapusan, dan penggabungan daerah.
Adapun Evaluasi Daerah Otonom Baru (EDOB) adalah evaluasi terhadap perkembangan kelengkapan aspek-aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah pada daerah yang baru dibentuk[41]. Evaluasi daerah baru dilaksanakan hanya kepada daerah otonom yang baru berusia tiga tahun ke bawah. Tujuannya untuk melihat tingkat perkembangan daerah tersebut dalam mempersiapkan elemen-elemen dasar pemerintahan daerah, yaitu pembentukan perangkat daerah, pengisian personel, pengisian DPRD, pelaksanaan kewajiban daerah induk dan provinsi memberi alokasi pembiayaan, penetapan batas, pelaksanaan pelayanan dasar kepada masyarakat.
Evaluasi Kemampuan Penyelenggaraan Otonomi Daerah (EKPOD) adalah suatu proses pengumpulan dan analisis data secara sistematis terhadap kemampuan penyelenggaraan otonomi daerah yang meliputi aspek kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah[42].
Hasil evaluasi kinerja pada 2007 dan 2008 diketahui bahwa lebih-kurang 61 persen daerah otonom memiliki kinerja yang “baik”dalam wujud peningkatan kesejahteraan rakyat, pendidikan, kesehatan, dan pelayan publik. Sedangkan 39 persen daerah otonom lainnya masih berada pada peringkat kinerja “sedang”dan “kurang”yang memerlukan pembinaan dan peningkatan kapasitas.
Perkembangan 57 daerah otonom baru yang berusia di bawah 3 tahun mengindikasikan 80 persen bermasalah. Ini terutama berkait dengan belum terlaksananya penyerahan personel, peralatan, pembiayaan dan dokumentasi (P3D), pengadaan pembangunan sarana dan prasarana yang belum memadai, dan pelayanan publik yang belum optimal.
Adapun hasil evaluasi terhadap daerah otonom usia di atas 3 tahun (148 daerah) menunjukkan kemajuan kinerja dengan klasifikasi “sedang”. Terhadap kondisi kinerja daerah otonom baru dan daerah otonom secara keseluruhan, Presiden menyatakan diberlakukannya moratorium (jeda sementara). Dilihat dari aspek legalitas, memang tidak ada ketentuan yang secara tegas mengatur mengenai jeda sementara pemekaran daerah.Tapi, secara konstitusional, keberadaan jeda sementara ini dapat dipahami dari amanat Pasal 5 ayat (1) maupun Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 bahwa Presiden ataupun DPR berhak mengajukan rancangan undang-undang (RUU).
Dalam mekanisme pengajuan dan pembahasan RUU itu, termasuk RUU Pembentukan Daerah Otonom, terdapat ruang untuk melakukan kesepakatan. Untuk itu, pemerintah memandang penting menyamakan kesepahaman dan membangun kesepakatan politik dengan DPR, guna melakukan jeda sementara pembahasan RUU Pembentukan Daerah Baru. Sebagaimana amanat Bapak Presiden RI pada 18 Agustus 2009 yang telah disampaikan di hadapan Sidang Paripurna DPR-RI, diperlukan moratorium pemekaran daerah untuk melakukan evaluasi daerah pemekaran secara menyeluruh, konsisten, dan sungguh-sungguh, serta menyusun Desain Besar Penataan Daerah 2010-2025. Dalam desain besar penataan daerah terdapat beberapa elemen pokok sebagai berikut:[43]
a.       Penerapan prosedur baru pembentukan daerah otonom melalui daerah persiapan:
2)             Mengembangkan parameter pembentukan daerah persiapan berdasarkan parameter geografis, demografis, dan kesisteman;
3)             Membentuk daerah otonom baru melalui tahap pembentukan daerah persiapan dengan dasar hukum peraturan pemerintah untuk jangka waktu transisi 3-5 tahun;
4)             Menyediakan fasilitas dan pendampingan profesional penyelenggaraan pemerintahan bagi setiap daerah persiapan selama dalam masa transisi; dan
5)             Mengajukan perubahan status menjadi daerah otonom bagi daerah yang layak berdasarkan hasil evaluasi dengan penyiapan RUU pembentukan daerah untuk dibahas bersama Pemerintah dan DPR-RI.
b.      Penggabungan dan penyesuaian daerah otonom:
1)             Menerapkan pola insentif dan fasilitas khusus bagi penggabungan daerah otonom berdasarkan hasil evaluasi kemampuan penyelenggaraan otonomi daerah;
2)             Menyesuaikan cakupan fisik wilayah, penegasan batas wilayah, dan penetapan ibu kota daerah otonom sesuai parameter daerah otonom yang maju mandiri;
3)             Mengembangkan pola klasifikasi daerah otonom kota (kota pratama, kota madya, dan kota utama) berdasarkan jumlah penduduk, urusan pemerintahan, dan ketersediaan fasilitas pelayanan publik; dan
4)             Menyiapkan alternatif pemekaran daerah otonom dengan memperkuat kecamatan sebagai pusat pelayanan publik dan mengendalikan kualitas proses pembentukan kecamatan.
c.       Pengaturan daerah otonom yang memiliki kawasan dengan karakteristik tertentu:
1)             Mempertahankan kekhususan beberapa daerah otonom yang sudah ada, yaitu Daerah Khusus Ibu Kota, Otonomi Khusus Aceh, Otonomi Khusus Papua, dan Daerah Istimewa Yogyakarta;
2)             Membuka kemungkinan kekhususan otonomi secara terbatas bagi daerah-daerah otonom tertentu atas dasar kepentingan strategis nasional, yaitu kawasan perbatasan antarnegara, kawasan ekonomi khusus, dan kawasan konservasi alam; dan
3)             Merumuskan parameter khusus pembentukan daerah otonom baru untuk wilayah tertentu atas dasar pertimbangan kepentingan strategis nasional.
Langkah strategis lain yang perlu dilakukan adalah pembenahan sistem pemerintahan daerah yang dimaksudkan untuk membangun suatu sistem pemerintahan dengan sub-sub-sistem sebagai satu kesatuan yang saling terkait dan saling menopang. Dengan demikian, jalannya pemerintahan nasional dengan sub-sistem pemerintahan provinsi, dan sub-sistem pemerintahan kabupaten/kota, dapat bersinergi dan tidak saling menghambat.
Selanjutnya, perlu menggeser orientasi pelaksanaan otonomi daerah dari sekadar membagikan kewenangan atau urusan pemerintahan (kewenangan wajib dan pilihan) menjadi memberikan kewenangan atau urusan pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip efisiensi dan efektivitas sehingga pelaksanaan urusan tersebut dapat berjalan efektif dan efisien guna meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Penting juga menyerasikan beban kewenangan atau urusan yang menjadi tanggung-jawab pemerintahan daerah dengan dukungan anggaran yang disediakan melalui mekanisme dana perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam APBN. Berbagai upaya pembenahan tersebut berimplikasi pada perlunya dilakukan revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Di samping itu, perlu diberlakukan pemberian sanksi yang tegas dalam hal suatu sub-sistem pemerintahan tidak mematuhi regulasi dan menghambat pencapaian tujuan-tujuan nasional dan daerah. Sebaliknya, perlu ditingkatkan pemberian reward bagi suatu sub-sistem pemerintahan yang mematuhi peraturan perundang-undangan dan berprestasi dalam mendukung pencapaian tujuan nasional dan daerah.[44]

C.    Kesimpulan
Dengan interaksi yang lebih intensif antara masyarakat dan pemerintah daerah, diharapkan masyarakat akan memperoleh hak-haknya secara lebih baik. Pemberlakuan sistem otonomi daerah telah membawa perubahan politik di tingkat lokal, hal ini memberikan dampak positif maupun dampak negatif. Ada kesenjangan antara perubahan tataran konseptual dengan perubahan pada tingkat pemahaman dan perilaku elit penyelenggara pemerintahan daerah. Dan pemekaran daerah dianggap sebagai salah satu media politis untuk memenuhi hasrat berkuasa elit di daerah.  
Namun pemerintah pusat juga memiliki andil terciptanya kondisi diatas. Situasi tersebut menuntut adanya reorientasi terhadap apa yang telah, dan sedang terjadi dengan pemekaran daerah atau otonomi daerah pada umumnya. Perlu ada perbaikan aturan dan mekanisme yang menempatkan pemekaran daerah secara komprehensif. Harus ada komitmen, konsep yang matang, pelaksanaan yang bertanggung jawab atas implementasi pemekaran daerah. Selain dalam konteks kesejahteraan masyarakat daerah, juga dalam konsep ke-Indonesiaan yang utuh yang menyentuh pada identitas masyarakat, bukan sekedar pada batas geografis yang disekat oleh faktor etnisitas, namun kebangsaan dalam konteks dan identitas ke-Indonesiaan yang utuh.




DAFTAR PUSTAKA

Buku/Jurnal/Media Ceta
Dede Rosyada Dkk, 2005, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, Edisi Refisi, Cet ke-2
Daniel D Kameo, 2003, Otonomi Daerah Perkembangan Pemikiran, Pengaturan dan Pelaksanaan, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, cet ke II.
Makagansa, H.R., 2008, Tantangan Pemekaran Daerah, Yogyakarta, FusPad.
Syamsuddin Haris, 2006, Desentralisasi dan Otonomi daerah, Jakarta, LIPI Pres.
Soetandyo Wignosubroto, dkk, 2005, Pasang Surut Otonomi Daerah Sketsa Perjalanan 100 Tahun, Jakarta, Institute For Local Development.
Djoko Harmantyo, Pemekaran Daerah dan Konflik Keruangan Kebijakan Otonomi Daerah dan Implementasinya di Indonesia, MAKARA, SAINS, Vol. 11, NO. 1, April 2007.
Harian Suara Pembaruan, Senin 3 Agustus 2009, hlm.3
Peraturan Perundang-Undangan
UUD Negara RI Tahun 1945
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah
UU No. 23 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan UU No 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah
PP No. 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah.
PP No. 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Website
www.nusatenggaranews.com., Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur.
www.wikipedia.com, pembentukan Daerah-daerah Tingkat II di Sulawesi.
http://bandungbaratonline.blogspot.com/2010/02, Perjalanan Sejarah Pemekaran Daerah di Indonesia,  
http://gagasanhukum.wordpress.com/2011/02/28/penataan-dan-pemekaran-daerah-di-kaltim.
http://id.answers.yahoo.com/question/index, Usulan Perubahan Kebijakan Penataan Daerah (Pemekaran dan Penggabungan Daerah).
httpwww.jdih.bpk.go.id., PemekaranDaerah, Sie Infokum-Ditama Binbangkum.
http://patawari.wordpress.com/2009/05/14/kebijakan-pemekaran-daerah.
Gamawan Fauzi, Menteri Dalam Negeri, Membenahi Sistem Pemerintahan Daerah.



[1] Harian Suara Pembaruan, Senin 3 Agustus 2009, hlm.3
[2] Syamsuddin Haris, Desentralisasi dan Otonomi daerah, LIPI Pres, Jakarta, 2006. hal. 165
[3] Ibid
[5] Djoko Harmantyo, Pemekaran Daerah dan Konflik Keruangan Kebijakan Otonomi Daerah dan Implementasinya di Indonesia, MAKARA, SAINS, Vol. 11, NO. 1, April 2007.
[6] Makagansa, H.R., Tantangan Pemekaran Daerah, FusPad, Yogyakarta, 2008, hlm. 17.
[7] http://patawari.wordpress.com/2009/05/14/kebijakan-pemekaran-daerah/,  diakses pada 28 januari 2012
[8] T.J.Wofter, mengatakan bahwa: suatu wilayah adalah daerah tertentu yang di dalamnya tercipta homogenitas struktur dan sosial sebagai perwujudan kombinasi antara faktor-faktor lingkungan dan demografi.
[9] R.S. Platt, berpendapat bahwa: suatu wilayah adalah daerah tertentu yang keberadaannya dikenal berdasarkan homogenitas umum baik atas dasar karakter lahan maupun huniannya.
[10] P. Vidal dela Blache, bahwa: wilayah adalah tempat (domain) tertentu yang di dalamnya terdapat banyak sekali hal yang berbeda beda, namun secara artifisial bergabung bersama-sama, saling menyesuaikan untuk membentuk kebersamaan.
[11] A.J. Herbertson, yang mengartikan: wilayah sebagai bagian dari bagian yang tertentu dari permukaan bumi yang mempunyai sifat khas tertentu sebagai akibat dari adanya hubungan-hubungan khusus antara komplek lahan, air, udara, tanaman, binatang dan manusia sendiri.
[12] Taylor, melihat wilayah dari penampakan karakteristik memberikan batasan wilayah yaitu, Sebagai suatu daerah tertentu di permukaan bumi yang dapat dibedakan dengan daerah tetangganya atas dasar kemampuan karakteristik atau properti yang menyatu.

[13] ibid
[14] Pasal 1 UU No 23 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
[15] Soetandyo Wignosubroto, dkk, Pasang Surut Otonomi Daerah Sketsa Perjalanan 100 Tahun, Institute For Local Development, Jakarta, 2005, hlm 3.
[16] Ibid
[17] Daniel D Kameo, Otonomi Daerah Perkembangan Pemikiran, Pengaturan dan Pelaksanaan, PT. Citra Aditya Bakti, cet ke II, Bandung 2003, hlm. 25
[18] Ibid, hlm 26
[19] Berdasarkan Peraturan Pemerintah RIS Nomor 21 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Daerah Propinsi, yang ditetapkan pada tanggal 14 Agustus 1950.
[20] (Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur) dituangkan dalam UU No.25 Tahun 1956
[21] (Jambi, Riau, Sumatera Barat) berdasarkan Undang-undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957.
[22] berdasarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara,
[23] Berdasarkan UU No.21 Tahun 1957
[24] (Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur) diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 dan Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 14 Agustus 1959, www.nusatenggaranews.com.
[25]  (Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan) didasarkan pada Undang-undang Nomor 29 Tahun 1959, tentang pembentukan Daerah-daerah Tingkat II di Sulawesi, www.Wikipedia.com
[26] berdasarkaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 13 Tahun 1964
[28] UUD Negara RI 1945, Pasal 18B Ayat (1)
[29]http://gagasanhukum.wordpress.com/2011/02/28/penataan-dan-pemekaran-daerah-di-kaltim/, diakses pada 26 januari 2012
[30]Usulan Perubahan Kebijakan Penataan Daerah (Pemekaran dan Penggabungan Daerah), http://id.answers.yahoo.com/question/index?, diakses pada 12 feb 2012
[31] Sie Infokum -Ditama Binbangkum, PemekaranDaerah, httpwww.jdih.bpk.go.id, diakses pada 12 Februari 2012
[32] http://patawari.wordpress.com/2009/05/14/kebijakan-pemekaran-daerah, diakses pada 28 januari 2012
[33] http://patawari.wordpress.com/2009/05/14/kebijakan-pemekaran-daerah, diakses pada 28 januari 2012
[35] Op. Cit. Gamawan Fauzi, hlm. 10
[36] UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
[37] Ibid
[38] Ibid
[39] Dede Rosyada Dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, Edisi Refisi, Cet ke-2, Jakarta, 2005.
[40] Pasal 1 (14) PP No. 6 Tahun 2008
[41] Ibid, Pasal 1 Ayat (17)
[42] Ibid, Pasal 1 Ayat (15)
[43] Gamawan Fauzi, MENTERI DALAM NEGERI RI, Membenahi Sistem Pemerintahan Daerah, http://tempointeraktif.com/khusus/selusur/65tahun/page07.php, dikases pada 5 januari 2012
[44] Ibid