Oleh
Udin
Latif, S.H
Abstract
Perkembangan
zaman disertai tuntutan kebutuhan hidup yang semakin meningkat, sejalan dengan
perkembangan peranan Negara yang semakin besar dan luas, yakni menyelenggarakan
kesejahteraan umum yang disebut Walefare
State. Pemekaran
Daerah menjadi salah
satu aspek penting dari pelaksanaan otonomi daerah saat ini, yang secara
normatif bertujuan untuk memperkuat hubungan antara pemerintah daerah dan
masyarakat lokal. Tulisan ini bertujuan untuk mengungkap latar belakang
Pemekaran Daerah, proses Pemekaran Daerah, perkembangan daerah pemekaran serta implikasinya terhadap perwujudan cita-cita negara
kesejahteraan.
A.
PENDAHULUAN
Sejak berlakunya
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka mencairlah
sentralisme kekuasaan yang selama ini berkembang pada masa Orde Baru. Pemekaran
daerah secara intensif berkembang di Indonesia sebagai salah satu jalan untuk pemerataan
pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Setelah
berjalan lebih dari 11 tahun, banyak pihak ragu apakah tujuan pemekaran
tersebut dapat tercapai atau tidak. Meski saat ini pemekaran tidak dapat
dielakkan lagi dalam situasi politik yang terjadi.
Presiden SBY saat menyampaikan keterangan pemerintah atas
RUU tentang APBN tahun 2010 dalam Rapat Paripurna Luar Biasa DPR di Jakarta, Presiden Susilo Bambang Yudoyono
menyatakan bahwa pemekaran
dan pembentukan daerah baru perlu dievaluasi agar tidak menjadi beban keuangan Negara[1]. Pernyataan tersebut didukung oleh
fakta sebagian besar daerah pemekaran justru membebani keuangan Negara. Daerah
pemekaran belum dapat memperlihatkan peningkatan pembangunan daerah setempat, sehingga
pelaksanaan pemekaran daerah belum mencapai tujuan otonomi daerah.
Gerakan reformasi
membawa perubahan lahirnya kembali semangat otonomi daerah, sehingga
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 mendapat sambutan hangat oleh masyarakat di
daerah. Dalam perjalanannya Undang-undang ini banyak kelemahan, terbukti bahwa
banyak konflik horizontal yang
timbul baik persoalan pengelolaan sumber daya alam[2] sampai
pada persoalan batas wilayah baik antar Kabupaten/kota maupun antar provinsi.
Sejak otonomi daerah
diberlakukan, proses pemekaran terjadi begitu pesat dan cenderung tidak
terkendali. Sejak 1999
telah terbentuk 205 daerah otonom baru yang terdiri dari 7 provinsi, 164
kabupaten, dan 34 kota. Dengan begitu, sampai saat ini total daerah otonom
adalah 534 daerah dengan perincian 33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota[3].
Keuangan negara yang seharusnya bisa digunakan untuk kesejahteraan rakyat
menjadi beralih untuk membiayai keperluan administrasi pemerintahan daerah
pemekaran.
Pasal 5 Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 jo Pasal 2 (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, memberi peluang bagi daerah untuk membentuk atau
memekarkan daerah, sehingga lahirlah daerah-daerah pemekaran baru yang syarat
dengan persoalan-persoalan baru mulai dari masalah budaya, ekonomi, politik,
agama dan bahkan konflik batas wilayah. Pemekaran atau pembentukan daerah
otonom baru ternyata tidak serta-merta dapat menciptakan keadaan lebih baik
akan tetapi bagi sebagian daerah masih banyak meninggalkan persoalan yang berlarut-larut
dan bahkan hingga saat ini belum banyak persoalan dapat diselesaikan.
Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 yang selanjutnya digantikan oleh Undang- undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, diharapkan
oleh banyak kalangan dapat menjawab persoalan-persoalan yang belum mampu terjawab
oleh Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999. Pembentukan atau pemekaran daerah
dirasakan sebagai suatu kebutuhan saat itu, untuk mewujudkan upaya peningkatan
efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pembinaan
kemasyarakatan serta untuk lebih mempercepat terwujudnya pemerataan
kesejahteraan masyarakat. Disamping itu untuk mendekatkan pelayanan kepada
masyarakat dan penciptaan rentang kendali pengawasan lebih efektif.
Dasar pemikiran di atas
sebagai awal lahirnya gagasan untuk melakukan pemekaran Daerah Provinsi maupun
Kabupaten/kota
di daerah-daerah. Daerah-daerah yang baru dibentuk atau dimekarkan sering kali menimbulkan
mobilisasi konflik antar daerah maupun batas wilayah dengan berbagai argumen
dan alasan sehingga cenderung memperkeruh persoalan.
Sekian banyak produk hukum yang mengatur tentang program
Otonomi Daerah yang dikeluarkan, hampir semuanya tidak berjalan secara
maksimal. Lihat saja, sebelum era reformasi berhasil digulirkan pada tahun
1998, peraturan tentang Program Otonomi Daerah tersebut sudah mengalami
beberapa kali perubahan. Mulai dari UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948,
UU No. 1 Tahun 1957, UU No. 18 Tahun 1965, dan UU No. 5 Tahun 1974. Di era
reformasi, muncul lagi UU No. 22 Tahun 1999 dan disusul UU No. 32 tahun 2004
sebagaimana telah diubah dengan UU No 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan
Daerah. Semua peraturan tersebut pada prinsipnya membahas tentang idealisme
otonomi daerah yang dalam tataran impelementasinya justru diikuti dengan
kebijakan-kebijakan “eksploitatif” di tingkat daerah dalam mengatur dan
mengelola potensi daerahnya[4].
Di samping belum dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk
daerah setempat, di sisi lain pemekaran daerah justru menimbulkan konflik
keruangan seperti yang terjadi di kabupaten Mamasa propinsi Sulawesi Barat,
perebutan pulau Berhala antara propinsi Riau Kepulauan dan propinsi Jambi,
perebutan salah satu pulau di kepulauan Seribu antara propinsi DKI Jakarta,
propinsi Banten[5],
dan perebutan pulau Sain antara kabupaten Halmahera Tengah dan Kabupaten Raja
Ampat. Berbagai persoalan tersebut merupakan sebagian permasalahan yang
menyangkut pelaksanaan prinsip desentralisasi/otonomi dan pemekaran daerah.
Lalu bagaimanakah implementasi Pemekaran
Daerah yang dapat mensejahterakan rakyat?
B. PEMBAHASAN
1. Tinjauan Historis Pemekaran Daerah di Indonesia
Istilah “Pemekaran Daerah”
kini lazim dipakai untuk menggambarkan fenomena kelajuan pertambahan daerah
otonom baru di Indonesia[6].
Analisis tentang wilayah atau daerah belum banyak ditemukan di dalam
literatur-literatur, sehingga ditemukan sedikit kesulitan di dalam merumuskan
konsep-konsep teoritik tentang Daerah. Kemudian antara sebutan Daerah dan
Wilayah tidak berhasil ditemukan adanya perbedaan, bahkan kedua sebutan ini
sering dipertukarkan di dalam pemakaian sehari-hari. Oleh para ahli, batasan
mengenai ilmu wilayah diartikan sebagai berikut:
Ilmu wilayah adalah suatu
ilmu yang mempelajari wilayah terutama sebagai suatu sistem, khususnya yang
menyangkut hubungan interaksi dan interpendensi antara subsistem utama,
ekosistem dengan sub sistem utama sosial sistem, serta kaitannya dengan
wilayah-wilayah lainnya dalam membentuk suatu kesatuan wilayah guna
pengembangan termasuk penjagaan kelestarian wilayah tersebut. Lebih lanjut
beberapa ahli mendefinisikan wilayah sangat berbeda satu sama lain karena
kepentingan dan latar belakang yang berbeda pula[7].
Sebagaimana dikutip oleh Hadi Sabari dari beberapa pakar, yaitu: T.J.Wofter[8],
R.S. Platt[9],
P. Vidal dela Blache[10],
A.J. Herbertson[11]
dan Taylor[12].
Batasan dan pengertian
yang diberikan oleh para Ahli diatas dapat dikelompokkan adanya 3 pandangan
tentang wilayah yaitu, dari
sudut pandang Humaniora
(kemanusiaan), natural fenomena
(gejala alamiah) dan geographycal
fenomena (gejala geografi). Dengan demikian, dari pandangan-pandangan
diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa perwilayahan adalah usaha untuk
membagi-bagi permukaan bumi atau bagian dari permukaan bumi tertentu untuk
tujuan yang tertentu pula dengan kriteria seperti administratif, politik,
ekonomi, sosial, kultural, fisik, geografis dan sebagainya. Selanjutnya
perwilayahan tersebut membentuk organisasi dan kelembagaan dengan program
berbagai variabelnya antara lain kepemimpinan, doktrin, program, sumber-sumber
daya (Alam dan manusia) dan struktur intern lainnya[13].
Sedangkan menurut Pasal 1
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, sebagimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, yang dimaksud dengan “Daerah
Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”[14]
Secara legal formal,
pembentukan daerah atau dalam hal ini pemekaran daerah tidak bisa dilakukan
secara serampangan, terbukti adanya berbagai persyaratan dan kriteria yang
harus dipenuhi dalam melakukan pemekaran. Dalam hubungan ini, tentunya dapat
ditelusuri hadirnya berbagai faktor yang melatarbelakangi pemekaran daerah,
implikasi yang ditimbulkannya, dan kriteria-kriteria yang dapat ditawarkan
dalam melakukan pemekaran daerah di Indonesia.
Dalam catatan sejarah
kolonial, usaha merealisasikan desentralisasi pemerintahan di tanah koloni ini
yang pada saat itu
disebut Nederlands-Indie, sekarang
dikenal dengang Republik Indonesia bermula pada tahun 1903. Pada tahun ini
diundangkanlah apa yang dikenal dengan Wet
Houdende Desentralisatie van Het Bestuur in Nederlands-Indie. Undang-undang yang dipopulerkan dengan nama
singkatannya Decentralisatie Wet 1903,
tercatat dalam sejarah sebagai Undang-undang yang dibentuk guna merespons atas
tuntutan Europese Burgerij.
Warga-warga eropa yang berkoloni di kota-kota kolonial waktu itu mengajukan
tuntutan agar dapat berbicara dalam ihwal penggunaan dana-dana publik lewat
pelibatan diri dalam soal penganggaran dana-dana pemerintah yang disediakan
untuk pengadaan fasilitas kehidupan warga kota setempat.[15] Walau
desentralisasi di Hindia Belanda ini ditilik dari sisi yuridis formalnya baru
dinyatakan bermula pada tahun 1903, akan tetapi ide, wacana, tuntutan-tuntutan
dan sehubungan hal itu juga kajian-kajian yang mendahului terbentuknya Decentralisatie Wet 1903 sebenarnya
sudah berlangsung amat lama sebelumnya. Hanya pertimbangan-pertimbangan
pragmatik mengenai kondisi riil di lapangan dan juga alasan yuridis
konstitusional sebelum diubahnya Grondwet
(Undang-Undang Dasar) Kerajaan Belanda sajalah yang memotifasi pengambil
kebijakan kolonial untuk mempertahankan terlebih dahulu model sentralisme
pemerintahan.[16]
Benih otonomi di
Indonesia, sebenarnya berasal dari politik etis (ethische politiek) yang dijalankan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Maksud semula politik etis adalah untuk meningkatkan kecerdasan dan kehidupan sosial
ekonomi rakyat Indonesia, namun didalam perkembangannya hasil yang menonjol
justru kemunculan dan pertumbuhan gerakan-gerakan politik kaum cendikiawan pada
masa itu yang
bertujuan menuntut hak bangsa Indonesia untuk turut berperan dalam penentuan lapangan
ketatanegaraan. Perkembangan demikian itulah yang mendorong pemerintah belanda
melakukan perubahan-perubahan dalam lapangan ketatanegaraan untuk mengimbangi
gerakan-gerakan kebangsaan dan kemudian terhadap gerakan kemerdekaan yang
dipelopori kaum cendikiawan bangsa Indonesia.
Perubahan
ketatanegaraan yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda, antara lain dengan
memberikan otonomi pada badan-badan politik setempat[17].
Pada masa ini pulalah, Pemerintah Belanda memberikan pengalaman panjang
Indonesia terhadap bentuk otonomi bertingkat, yaitu dengan adanya hubungan
hirarkhis antara daerah otonom yang tingkatannya lebih rendah dengan daerah
otonom yang tingkatannya lebih tinggi seperti propinsi dan kabupaten atau
kotamadya/kota dan kelurahan atau desa. Sebagaimana kelak disadari, pada
akhirnya bentuk otonomi bertingkat ini selalu menjadi bayang-bayang yang
mengikuti kemanapun pelaksanaan otonomi daerah-daerah Indonesia[18].
Perjalanan Sejarah Pemekaran sejak berdirinya Republik
Indonesia pada tahun 1945, Indonesia terbagi dalam 8 provinsi yaitu Sumatera,
Kalimantan (dahulu
dikenal dengan nama Borneo), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi,
Maluku dan Sunda Kecil. Hingga periode tahun 1950, bentuk dan wilayah Indonesia
mengalami perubahan berkaitan dengan masa perjuangan mempertahankan
kemerdekaan.
Pada Tahun 1950, Indonesia memiliki 11 provinsi dengan
dibaginya Sumatera menjadi 3 Provinsi(Sumatera Utara, Sumatera tengah, Sumatera
Selatan) dan dibentuknya provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta[19].
Tahun 1956 Indonesia memiliki 17 provinsi dengan dibaginya Kalimatan menjadi 3
provinsi[20],
dibaginya Sumatera Tengah menjadi 3 Provinsi[21].
Kemudian diundangkan dalam Undang-undang Nomor 61 tahun 1958, dibentuknnya
provinsi Daerah Istimewa Aceh terpisah dari Sumatera Utara[22]
dan dibentuknnya provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta terpisah dari Jawa
Barat. Tahun 1957 Indonesia memiliki 18 Provinsi dengan dibentuknya provinsi
Kalimantan Tengah Terpisah dari Kalimantan Selatan[23].
Tahun 1959 Indonesia memiliki 21 provinsi dengan dibaginya Sunda Kecil menjadi
3 provinsi[24]
Sedangkan UU No.27 Tahun 1959 memisahkan bagian utara dari daerah Kabupaten
Kotabaru dan memasukkan wilayah itu ke dalam kekuasaan Propinsi Kalimantan
Timur, dibaginya Sulawesi menjadi 2 provinsi[25].
Tahun 1964 Indonesia memiliki 24 provinsi dengan dibentuknya
provinsi Lampung terpisah dari Sumatera Selatan, dibentuknya provinsi Sulawesi
Tengah terpisah dari Sulawesi Utara, serta dibentuknya provinsi Sulawesi
Tenggara terpisah dari Sulawesi Selatan[26].
Tahun 1967 Indonesia memiliki 25 provinsi dengan dibentuknya provinsi Bengkulu
terpisah dari Sumatera Selatan. Tahun 1969 Indonesia memiliki 26 provinsi
dengan dibentuknya Irian menjadi provinsi setelah PBB secara resmi menyerahkan
Irian Barat kembali kepada Indonesia pada tahun 1963.
Tahun 1975 Indonesia memiliki provinsi ke-27 setelah Timor
Timur Resmi bergabung dalam kedaulatan Republik Indonesia, hingga memisahkan
diri menjadi Negara merdeka pada tahun 1999. 1999 Indonesia kembali memiliki 27
provinsi dengan dibentuknya provinsi Maluku Utara terpisah dari Maluku
berdasarkan UU Nomor 46 Tahun 1999.
Tahun 2000 Indonesia memiliki 30 provinsi dengan dibentuknya
provinsi Banten terpisah dari Jawa Barat, dibentuknya provinsi Bangka Belitung
terpisah dari Sumatera Selatan, serta dibentuknya provinsi Gorontalo terpisah
dari Sulawesi Utara. Tahun 2001 Indonesia memiliki 31 provinsi dengan
dibentuknya provinsi Irian Jaya Barat terpisah dari Irian yang berganti nama
menjadi provinsi Papua. Tahun 2002 Indonesia memiliki 32 provinsi dengan
dibentuknya provinsi Kepulauan Riau terpisah dari Riau. Tahun 2004 Indonesia
memiliki 33 provinsi dengan dibentuknya provinsi Sulawesi Barat terpisah dari
Sulawesi Selatan. Hingga saat ini, Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri
dari 33 Provinsi dengan lebih dari 400 Kabupaten/Kota[27].
2.
Implementasi
Pemekaran Daerah dan Implikasi Sosialnya
UUD 1945 tidak mengatur
perihal pembentukan daerah atau pemekaran suatu wilayah secara khusus, namun
disebutkan dalam Pasal 18B ayat (1) bahwa, “Negara mengakui dan menghormati
satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa
yang diatur dengan undang-undang.”[28] Pemekaran
Daerah di Indonesia mulai berkembang pesat sejak UU No 22 Tahun 1999 mengenai
Pemerintah Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah ditetapkan. Sebelum kedua UU tersebut berlaku, jumlah daerah otonom
adalah sebanyak 249 kabupaten, 65 kota, dan 27 provinsi. Di akhir Desember
2007, jumlahnya menjadi 370 kabupaten, 95 kota dan 33 provinsi[29]. Perkembangan
pesat tersebut tidak terlepas dari dampak desentralisasi, yakni pelimpahan
kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Ditengah euforia dan mainstream publik yang begitu kuat dan
mengakar tentang impian program pemekaran Daerah, tentunya akan menjadi
tantangan berat bagi pemerintah pusat untuk menghalangi keinginan yang
berkembang di daerah. Padahal jika bangsa ini ingin belajar dari
pengalaman-pengalaman yang pernah ada sebelumnya, penyelenggaraan program
pemekaran Daerah bukanlah seperti apa yang dibayangkan, melainkan ditingkat
lapangan, prakteknya jauh dari yang diharapkan[30].
BPK
mengingatkan kalau secara umum hasil pemeriksaan kinerja yang dilakukan BPK
menunjukkan tidak terpenuhinya standar pelayanan minimum dan tidak tercapainya
sasaran yang telah
ditetapkan. Khusunya dari aspek pelayanan dan administrasi yang menyangkut hajat
hidup orang banyak tidak sesuai. Pembentukan daerah otonomi baru yang kadang
diusung dari inisiatif DPR sering kali mengabaikan ketentuan proses. Proses
tersebut termasuk di dalamnya kesiapan daerah untuk mandiri[31].
Pemikiran yang
mendasari lahirnya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah adalah dalam
rangka memberikan keleluasaan kepada Daerah untuk menyelenggarakan otonomi
daerah yang dilakukan dengan prinsip demokrasi, peran serta masyarakat,
pemerataan dan keadilan, kemandirian, menjaga keserasian hubungan dengan
Pemerintah Pusat serta memperhatikan potensi dan keberagaman daerah. Selain
itu, Guna menghadapi persaingan global.
Saat mulai berlakunya UU
No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, menyebabkan terjadinya perubahan
yang fundamental terhadap elemen-elemen Pemerintahan Daerah serta memerlukan
penataan-penataan yang sistematis. Elemen-elemen utama yang membentuk
Pemerintah Daerah itu adalah:[32]
a.
Adanya urusan otonomi yang merupakan dasar dari
kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri;
b.
Adanya kelembagaan yang merupakan pewadahan dari
otonomi yang diserahkan kepada Daerah;
c.
Adanya personil (pegawai daerah) untuk menjalankan
urusan otonomi;
d.
Adanya sumber keuangan untuk pembiayaan pelaksanaan
otonomi;
e.
Adanya unsur perwakilan rakyat yang merupakan perwujudan
demokrasi di daerah; dan
f.
Adanya manajemen pelayanan umum (public service).
Tujuan-tujuan yang ingin diperoleh dari
adanya penataan tersebut terdiri dari:
a.
Tujuan utama yaitu bagaimana dengan penataan
kewenangan, kelembagaan, personil, keuangan, perwakilan dan manajemen urusan
otonomi tersebut akan dapat memberdayakan Pemerintah Daerah agar mampu
menjalankan tugasnya sebagai Daerah Otonom dengan baik.
b.
Tujuan politis yaitu memposisikan Pemerintah Daerah
sebagai instrumen pendidikan politik ditingkat lokal yang secara agregat akan
menyumbangkan pendidikan politik secara nasional sebagai elemen dasar
menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa.
c.
Tujuan administratif yaitu mengisyaratkan Pemerintah
Daerah akan mencapai efisiensi dan efektifitas dalam menjalankan tugas pokok
dan fungsinya dalam artian bertindak dan menggunakan dana publik.
Berdasarkan uraian diatas
tersirat bahwa dimungkinkan adanya pembentukan daerah otonom yang baru,
diantaranya yang ditempuh melalui cara pemekaran daerah. Pemekaran Daerah
sendiri dimaksudkan adalah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat[33].
Sejak berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 hingga UU No. 32 Tahun
2004 jo UU No 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, sama sekali belum ada
praktek penggabungan antar daerah di Indonesia, bahkan indikasi gejala usulan
penggabungan daerahpun tidak pernah ada. Sementara itu, kondisi sebaliknya
banyak sekali terjadi. Usulan dan kebijakan pemekaran daerah sangat banyak
terjadi dan upaya-upaya untuk melakukan pemekaran daerah terus saja terjadi.
Kebijakan pemekaran daerah yang signifikan
tidak didorong oleh latar belakang yang seragam, dan tidak pula membawa dampak
yang sama. Pemekaran di masing-masing daerah mempunyai kekhasannya sendiri yang
tidak mudah untuk digeneralisasikan. Namun demikian, perlu dilakukan
identifikasi dampak pemekaran secara umum. Dampak ini tidak hanya terkait
dengan penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan publik dan pembangunan di
tingkat nasional, tetapi juga dampak sosial, politik dan ekonominya di tingkat
daerah.
UU tentang Pemerintahan Daerah kiranya perlu dievaluasi
untuk mencegah semangat kedaerahan yang berlebihan. Ketentuan mengenai
pemilihan kepala daerah ada baiknya juga dikaji ulang untuk mencegah politik
biaya tinggi, yang dapat membawa implikasi terjadinya korupsi, kolusi dan
nepotisme di daerah. Seringnya Pilkada, baik gubernur, bupati/Walikota, bahkan
sampai pada pemilihan kepala desa dan kepala dusun, disamping berpotensi
menimbulkan instabilitas politik di daerah, juga dapat memalingkan perhatian
rakyat dari pembangunan sosial ekonomi ke bidang politik[34].
Mengambil pelajaran dari studi-studi yang dilakukan oleh
beberapa lembaga riset, seperti Percik, LIPI dan beberapa lembaga lainnya,
dampak sosial dan politik kebijakan pemekaran daerah secara umum sangat tidak
mudah untuk disimpulkan apakah pemekaran daerah berdampak positif ataukah
negatif. Di setiap dimensi, baik sosio-kultural, politik dan pemerintahan,
serta pelayanan publik dan pembangunan ekonomi, dampak pemekaran selalu bermata
ganda: bisa positif, tetapi pada saat yang sama juga bersifat negatif. Belum
lagi apabila dampak tersebut diletakkan dalam skala yang berbeda: dalam skala
daerah ataukah dalam skala nasional.
Atas pertimbangan tersebut, gambaran tentang dampak
pemekaran dalam tulisan ini diletakkan dalam wajah ganda. Menghindari ataupun
meminimalisasi dampak negatif pada dasarnya adalah mengelola proses kebijakan
pemekaran dan proses pasca pemekaran, diantaranya:
a.
Dampak
Sosio Kultural
Dimensi sosial, politik dan
kultural, bisa dikatakan bahwa pemekaran daerah mempunyai beberapa implikasi
positif, seperti pengakuan sosial, politik dan kultural terhadap masyarakat
daerah. Melalui kebijakan pemekaran, sebuah entitas masyarakat yang mempunyai
sejarah kohesivitas dan kebesaran yang panjang, kemudian memperoleh pengakuan
setelah dimekarkan sebagai daerah otonom baru. Pengakuan ini memberikan
kontribusi positif terhadap kepuasan masyarakat, dukungan daerah terhadap
pemerintah nasional, serta manajemen konflik antar kelompok atau golongan dalam
masyarakat.
Namun demikian, kebijakan pemekaran
juga bisa memicu konflik antar masyarakat, antar pemerintah daerah yang pada
gilirannya juga menimbulkan masalah konflik horisontal dalam masyarakat.
Sengketa antara pemerintah daerah induk dengan pemerintah daerah pemekaran
dalam hal pengalihan aset dan batas wilayah, juga sering berimplikasi pada
ketegangan antar masyarakat dan antara masyarakat dengan pemerintah daerah.
b.
Dampak
Pada Pelayanan Publik
Dimensi pelayanan publik, pemekaran
daerah memperpendek jarak geografis antara pemukiman penduduk dengan sentra
pelayanan, terutama ibukota pemerintahan daerah. Pemekaran juga mempersempit
rentang kendali antara pemerintah daerah dengan unit pemerintahan di bawahnya.
Pemekaran juga memungkinkan untuk menghadirkan jenis-jenis pelayanan baru, seperti
pelayanan listrik, telekomunikasi, serta fasilitas urban lainnya, terutama di wilayah ibukota
daerah pemekaran.
Tetapi, pemekaran juga menimbulkan
implikasi negatif bagi pelayanan publik, terutama pada skala nasional, terkait
dengan alokasi anggaran untuk pelayanan publik yang berkurang. Hal ini
disebabkan adanya kebutuhan belanja aparat dan infrastruktur pemerintahan
lainnya yang bertambah dalam jumlah yang signifikan sejalan dengan pembentukan
DPRD dan birokrasi di daerah hasil pemekaran. Namun, kalau dilihat dari
kepentingan daerah semata, pemekaran bisa jadi tetap menguntungkan, karena
daerah hasil pemekaran akan memperoleh alokasi DAU dalam posisinya sebagai
daerah otonom baru.
c.
Dampak
Bagi Pembangunan Ekonomi
Pasca terbentuknya daerah otonom
baru, terdapat peluang yang besar bagi akselerasi pembangunan ekonomi di
wilayah yang baru diberi status sebagai daerah otonom dengan pemerintahan
sendiri. Bukan hanya infrastruktur pemerintahan yang terbangun, tetapi juga
infrastruktur fisik yang menyertainya, seperti infrastruktur jalan,
transportasi, komunikasi dan sejenisnya. Selain itu, kehadiran pemerintah
daerah otonom baru juga memungkinkan lahirnya infrastruktur kebijakan pembangunan
ekonomi yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah otonom baru. Semua
infrastruktur ini membuka peluang yang lebih besar bagi wilayah hasil pemekaran
untuk mengakselerasi pembangunan ekonomi.
Namun, kemungkinan akselerasi
pembangunan ini harus dibayar dengan ongkos yang mahal, terutama anggaran yang
dikeluarkan untuk membiayai pemerintahan daerah, seperti belanja pegawai dan
belanja operasional pemerintahan daerah lainnya. Dari sisi teoritik, belanja
ini bisa diminimalisir apabila akselerasi pembangunan ekonomi daerah bisa
dilakukan tanpa menghadirkan pemerintah daerah otonom baru melalui kebijakan
pemekaran daerah. Melalui kebijakan pembangunan ekonomi wilayah yang menjangkau
seluruh wilayah, akselerasi pembangunan ekonomi tetap dimungkinkan untuk dilakukan
dengan harga yang murah. Namun, dalam perspektif masyarakat daerah, selama ini
tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa pemerintah nasional akan melakukannya
tanpa kehadiran pemerintah daerah otonom.
d.
Dampak
Pada Pertahanan, Keamanan dan Integrasi Nasional
Pembentukan daerah otonom baru, bagi
beberapa masyarakat pedalaman dan masyarakat di wilayah perbatasan dengan
negara lain, merupakan isu politik nasional yang penting. Bagi masyarakat
tersebut, bisa jadi mereka tidak pernah melihat dan merasakan kehadiran
'Indonesia', baik dalam bentuk simbol pemerintahan, politisi, birokrasi dan
bahkan kantor pemerintahan. Bahkan, di beberapa daerah seperti di pedalaman
Papua, kehadiran 'Indonesia' terutama ditandai dengan kehadiran tentara atas
nama pengendalian terhadap gerakan separatis. Pemekaran daerah otonom, oleh
karenanya, bisa memperbaiki penangan politik nasional di daerah melalui
peningkatan dukungan terhadap pemerintah nasional dan menghadirkan pemerintah
pada level yang lebih bawah.
Tetapi, kehadiran pemerintahan
daerah otonom baru ini harus dibayar dengan ongkos politik yang sangat mahal. Apabila
pengelolaan politik selama proses dan pasca pemekaran tidak bisa dilakukan
dengan baik, sebagaimana terbukti pada beberapa daerah hasil pemekaran, ketidak
mampuan untuk membangun inklusifitas politik antar kelompok dalam masyarakat
mengakibatkan munculnya tuntutan untuk memekarkan lagi daerah yang baru saja
mekar. Untuk mempersiapkan upaya pemekaran ini, proses pemekaran unit
pemerintahan terbawah, seperti desa untuk pemekaran kabupaten dan pemekaran
kabupaten untuk mempersiapkan pemekaran provinsi, merupakan masalah baru yang
perlu untuk diperhatikan.
Identifikasi dampak pemekaran
tersebut membawa kita pada kesimpulan bahwa banyak dampak negatif yang perlu diminimalisasi.
Esensi kebijakan yang perlu dilakukan merasionalisasi proses kebijakan
pemekaran, baik proses pengusulan pemekaran yang dilakukan oleh daerah, maupun
proses penetapan pemekaran yang dilakukan di tingkat pusat.[35]
3.
Syarat-syarat
Pembentukan/Pemekaran Daerah
UU No. 32 Tahun 2004 jo
UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, Secara lebih khusus mengatur
ketentuan mengenai pembentukan daerah dalam Bab II tentang Pembentukan Daerah
dan Kawasan Khusus. Dapat dianalogikan, masalah pemekaran wilayah juga termasuk
dalam ruang lingkup pembentukan daerah. UU Nomor 32 Tahun 2004 menentukan bahwa
“pembentukan suatu daerah harus ditetapkan dengan undang-undang tersendiri”[36].
Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 4 ayat (1). Kemudian, ayat (2) pasal tersebut
menyebutkan bahwa “Undang-undang pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) antara lain mencakup nama, cakupan wailayah, batas, ibu kota,
kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukan penjabat kepala
daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan,
peralatan, dokumen, serta perangkat daerah.”[37]
Legalisasi
pemekaran wilayah dicantumkan dalam pasal yang sama pada ayat (3) yang
menyatakan bahwa, “Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah
atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi
dua daerah atau lebih.” Dan ayat (4) menyebutkan, “Pemekaran dari satu daerah
menjadi 2 (dua) daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
dilakukan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan.”[38] Namun
demikian, pembentukan daerah hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi
syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.
4.
Evaluasi Pemekaran Daerah
Krisis
multidimensi dan ancaman disintregasi dewasa ini tidak semata-mata bersumber
pada kesalahan bentuk negara, tapi lebih pada format politik
sentralistik-otoriter dan struktur ekonomi kapitalistik-eksploitatif warisan
orde baru. Karena itu, pemberian otonomi bagi Daerah tidak bisa dipandang
sebagai agenda yang terpisah dari agenda demokratisasi kehidupan bangsa.
Kesalahan aplikasi kebijakan pemerintahan daerah melalui UU No. 5 Tahun 1974 di
masa orde baru antara lain karena tujuan utama dari kebijakan tersebut lebih
dititik beratkan pada upaya menciptakan efisiensi dan efektifitas
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah, ketimbang sebagai
agenda yang menyatu dengan proses demokratisasi[39].
Dalam
rangka implementasi otonomi daerah, dilakukan pula evaluasi penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Ini merupakan amanat UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Evaluasi menyangkut tiga elemen, yaitu
Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (EKPPD), Evaluasi
Kemampuan Penyelenggaraan Otonomi Daerah (EKPOD), dan Evaluasi Daerah Otonom
Baru (EDOB).
Dalam Ketentuan Umum PP No. 6 Tahun
2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daera, dinyatakan bahwa
Evaluasi
Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
(EKPPD) adalah suatu proses pengumpulan dan analisis data secara
sistematis terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah
dengan menggunakan sistem pengukuran kinerja[40]. Evaluasi kinerja dilaksanakan
setiap tahun oleh pemerintah dan diberlakukan pada seluruh daerah otonom. Kepala
daerah telah diwajibkan menyampaikan laporannya.Tujuannya adalah agar
pemerintah memperoleh umpan balik sebagai dasar bagi pemerintah melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Hasil evaluasi kemampuan daerah akan menjadi bahan dasar bagi Dewan
Pertimbangan Otonomi Daerah dalam memberikan pertimbangan kepada Presiden RI
dalam hal perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta pembentukan, penghapusan,
dan penggabungan daerah.
Adapun Evaluasi
Daerah Otonom Baru (EDOB) adalah evaluasi terhadap
perkembangan kelengkapan aspek-aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah pada
daerah yang baru dibentuk[41].
Evaluasi daerah baru dilaksanakan hanya kepada daerah otonom yang baru berusia
tiga tahun ke bawah. Tujuannya untuk melihat tingkat perkembangan daerah
tersebut dalam mempersiapkan elemen-elemen dasar pemerintahan daerah, yaitu
pembentukan perangkat daerah, pengisian personel, pengisian DPRD, pelaksanaan
kewajiban daerah induk dan provinsi memberi alokasi pembiayaan, penetapan
batas, pelaksanaan pelayanan dasar kepada masyarakat.
Evaluasi Kemampuan Penyelenggaraan Otonomi
Daerah (EKPOD) adalah suatu proses pengumpulan dan analisis data secara
sistematis terhadap
kemampuan penyelenggaraan otonomi daerah yang meliputi aspek kesejahteraan
masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah[42].
Hasil
evaluasi kinerja pada 2007 dan 2008 diketahui bahwa lebih-kurang 61 persen
daerah otonom memiliki kinerja yang “baik”dalam wujud peningkatan kesejahteraan
rakyat, pendidikan, kesehatan, dan pelayan publik. Sedangkan 39 persen daerah
otonom lainnya masih berada pada peringkat kinerja “sedang”dan “kurang”yang
memerlukan pembinaan dan peningkatan kapasitas.
Perkembangan
57 daerah otonom baru yang berusia di bawah 3 tahun mengindikasikan 80 persen
bermasalah. Ini terutama berkait dengan belum terlaksananya penyerahan
personel, peralatan, pembiayaan dan dokumentasi (P3D), pengadaan pembangunan
sarana dan prasarana yang belum memadai, dan pelayanan publik yang belum
optimal.
Adapun
hasil evaluasi terhadap daerah otonom usia di atas 3 tahun (148 daerah)
menunjukkan kemajuan kinerja dengan klasifikasi “sedang”. Terhadap kondisi
kinerja daerah otonom baru dan daerah otonom secara keseluruhan, Presiden
menyatakan diberlakukannya moratorium (jeda sementara). Dilihat dari aspek
legalitas, memang tidak ada ketentuan yang secara tegas mengatur mengenai jeda
sementara pemekaran daerah.Tapi, secara konstitusional, keberadaan jeda
sementara ini dapat dipahami dari amanat Pasal 5 ayat (1) maupun Pasal 20 ayat
(1) UUD 1945 bahwa Presiden ataupun DPR berhak mengajukan rancangan
undang-undang (RUU).
Dalam
mekanisme pengajuan dan pembahasan RUU itu, termasuk RUU Pembentukan Daerah
Otonom, terdapat ruang untuk melakukan kesepakatan. Untuk itu, pemerintah
memandang penting menyamakan kesepahaman dan membangun kesepakatan politik
dengan DPR, guna melakukan jeda sementara pembahasan RUU Pembentukan Daerah
Baru. Sebagaimana amanat Bapak Presiden RI pada 18 Agustus 2009 yang telah
disampaikan di hadapan Sidang Paripurna DPR-RI, diperlukan moratorium pemekaran
daerah untuk melakukan evaluasi daerah pemekaran secara menyeluruh, konsisten,
dan sungguh-sungguh, serta menyusun Desain Besar Penataan Daerah 2010-2025.
Dalam desain besar penataan daerah terdapat beberapa elemen pokok sebagai
berikut:[43]
a.
Penerapan prosedur baru pembentukan
daerah otonom melalui daerah persiapan:
2)
Mengembangkan parameter pembentukan
daerah persiapan berdasarkan parameter geografis, demografis, dan kesisteman;
3)
Membentuk daerah otonom baru melalui
tahap pembentukan daerah persiapan dengan dasar hukum peraturan pemerintah
untuk jangka waktu transisi 3-5 tahun;
4)
Menyediakan fasilitas dan pendampingan
profesional penyelenggaraan pemerintahan bagi setiap daerah persiapan selama
dalam masa transisi; dan
5)
Mengajukan perubahan status menjadi
daerah otonom bagi daerah yang layak berdasarkan hasil evaluasi dengan
penyiapan RUU pembentukan daerah untuk dibahas bersama Pemerintah dan DPR-RI.
b. Penggabungan
dan penyesuaian daerah otonom:
1)
Menerapkan pola insentif dan fasilitas
khusus bagi penggabungan daerah otonom berdasarkan hasil evaluasi kemampuan
penyelenggaraan otonomi daerah;
2)
Menyesuaikan cakupan fisik wilayah, penegasan
batas wilayah, dan penetapan ibu kota daerah otonom sesuai parameter daerah
otonom yang maju mandiri;
3)
Mengembangkan pola klasifikasi daerah
otonom kota (kota pratama, kota madya, dan kota utama) berdasarkan jumlah
penduduk, urusan pemerintahan, dan ketersediaan fasilitas pelayanan publik; dan
4)
Menyiapkan alternatif pemekaran daerah
otonom dengan memperkuat kecamatan sebagai pusat pelayanan publik dan
mengendalikan kualitas proses pembentukan kecamatan.
c. Pengaturan
daerah otonom yang memiliki kawasan dengan karakteristik tertentu:
1)
Mempertahankan kekhususan beberapa
daerah otonom yang sudah ada, yaitu Daerah Khusus Ibu Kota, Otonomi Khusus
Aceh, Otonomi Khusus Papua, dan Daerah Istimewa Yogyakarta;
2)
Membuka kemungkinan kekhususan otonomi
secara terbatas bagi daerah-daerah otonom tertentu atas dasar kepentingan
strategis nasional, yaitu kawasan perbatasan antarnegara, kawasan ekonomi
khusus, dan kawasan konservasi alam; dan
3)
Merumuskan parameter khusus pembentukan
daerah otonom baru untuk wilayah tertentu atas dasar pertimbangan kepentingan
strategis nasional.
Langkah
strategis lain yang perlu dilakukan adalah pembenahan sistem pemerintahan
daerah yang dimaksudkan untuk membangun suatu sistem pemerintahan dengan
sub-sub-sistem sebagai satu kesatuan yang saling terkait dan saling menopang.
Dengan demikian, jalannya pemerintahan nasional dengan sub-sistem pemerintahan
provinsi, dan sub-sistem pemerintahan kabupaten/kota, dapat bersinergi dan
tidak saling menghambat.
Selanjutnya,
perlu menggeser orientasi pelaksanaan otonomi daerah dari sekadar membagikan
kewenangan atau urusan pemerintahan (kewenangan wajib dan pilihan) menjadi
memberikan kewenangan atau urusan pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip
efisiensi dan efektivitas sehingga pelaksanaan urusan tersebut dapat berjalan
efektif dan efisien guna meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Penting
juga menyerasikan beban kewenangan atau urusan yang menjadi tanggung-jawab
pemerintahan daerah dengan dukungan anggaran yang disediakan melalui mekanisme
dana perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam APBN. Berbagai upaya
pembenahan tersebut berimplikasi pada perlunya dilakukan revisi UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Di
samping itu, perlu diberlakukan pemberian sanksi yang tegas dalam hal suatu
sub-sistem pemerintahan tidak mematuhi regulasi dan menghambat pencapaian
tujuan-tujuan nasional dan daerah. Sebaliknya, perlu ditingkatkan pemberian
reward bagi suatu sub-sistem pemerintahan yang mematuhi peraturan
perundang-undangan dan berprestasi dalam mendukung pencapaian tujuan nasional
dan daerah.[44]
C.
Kesimpulan
Dengan interaksi yang
lebih intensif antara masyarakat dan pemerintah daerah, diharapkan masyarakat akan
memperoleh hak-haknya secara lebih baik. Pemberlakuan sistem otonomi daerah
telah membawa perubahan politik di tingkat lokal, hal ini memberikan dampak
positif maupun dampak negatif. Ada
kesenjangan antara perubahan tataran konseptual dengan perubahan pada tingkat
pemahaman dan perilaku elit penyelenggara pemerintahan daerah. Dan pemekaran
daerah dianggap sebagai salah satu media politis untuk memenuhi hasrat berkuasa
elit di daerah.
Namun pemerintah pusat juga memiliki andil terciptanya
kondisi diatas. Situasi tersebut menuntut adanya reorientasi terhadap apa yang
telah, dan sedang terjadi dengan pemekaran daerah atau otonomi daerah pada
umumnya. Perlu ada perbaikan aturan dan mekanisme yang menempatkan pemekaran daerah
secara komprehensif. Harus ada komitmen, konsep yang matang, pelaksanaan yang
bertanggung jawab atas implementasi pemekaran daerah. Selain dalam konteks
kesejahteraan masyarakat daerah, juga dalam konsep ke-Indonesiaan yang utuh
yang menyentuh pada identitas masyarakat, bukan sekedar pada batas geografis
yang disekat oleh faktor etnisitas, namun kebangsaan dalam konteks dan
identitas ke-Indonesiaan yang utuh.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku/Jurnal/Media
Ceta
Dede
Rosyada Dkk, 2005, Demokrasi, Hak Asasi
Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, Edisi
Refisi, Cet ke-2
Daniel D Kameo, 2003, Otonomi Daerah Perkembangan Pemikiran,
Pengaturan dan Pelaksanaan, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, cet ke II.
Makagansa, H.R., 2008, Tantangan Pemekaran Daerah, Yogyakarta, FusPad.
Syamsuddin Haris, 2006, Desentralisasi
dan Otonomi daerah, Jakarta, LIPI Pres.
Soetandyo
Wignosubroto, dkk, 2005, Pasang Surut
Otonomi Daerah Sketsa Perjalanan 100 Tahun, Jakarta, Institute For Local
Development.
Djoko
Harmantyo, Pemekaran Daerah dan Konflik
Keruangan Kebijakan Otonomi Daerah dan Implementasinya di Indonesia, MAKARA,
SAINS, Vol. 11, NO. 1, April 2007.
Harian Suara Pembaruan, Senin 3 Agustus 2009, hlm.3
Peraturan
Perundang-Undangan
UUD Negara RI Tahun 1945
UU No. 22 Tahun
1999 tentang Otonomi Daerah
UU No. 23 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah terakhir
kali dengan UU No 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah
PP No. 78 Tahun 2007 tentang Tata
Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah.
PP No. 6 Tahun
2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Website
www.nusatenggaranews.com., Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur.
www.wikipedia.com, pembentukan
Daerah-daerah Tingkat II di Sulawesi.
http://gagasanhukum.wordpress.com/2011/02/28/penataan-dan-pemekaran-daerah-di-kaltim.
http://id.answers.yahoo.com/question/index,
Usulan Perubahan Kebijakan Penataan Daerah (Pemekaran dan
Penggabungan Daerah).
httpwww.jdih.bpk.go.id.,
PemekaranDaerah, Sie
Infokum-Ditama Binbangkum.
http://patawari.wordpress.com/2009/05/14/kebijakan-pemekaran-daerah.
Gamawan Fauzi, Menteri Dalam
Negeri, Membenahi Sistem Pemerintahan Daerah.
[2] Syamsuddin
Haris, Desentralisasi dan Otonomi daerah, LIPI Pres, Jakarta, 2006.
hal. 165
[3] Ibid
[4] http://franslakon.blogspot.com/2010/01/menakar-program-pemekaran-daerah.html, Diakses pada
11 februari 2012
[5] Djoko
Harmantyo, Pemekaran Daerah dan Konflik
Keruangan Kebijakan Otonomi Daerah dan Implementasinya di Indonesia,
MAKARA, SAINS, Vol. 11,
NO. 1, April 2007.
[6] Makagansa, H.R., Tantangan Pemekaran Daerah, FusPad,
Yogyakarta, 2008, hlm. 17.
[7]
http://patawari.wordpress.com/2009/05/14/kebijakan-pemekaran-daerah/, diakses pada 28 januari 2012
[8] T.J.Wofter, mengatakan bahwa:
suatu wilayah adalah daerah tertentu yang di dalamnya tercipta homogenitas
struktur dan sosial sebagai perwujudan kombinasi antara faktor-faktor
lingkungan dan demografi.
[9] R.S. Platt, berpendapat bahwa:
suatu wilayah adalah daerah tertentu yang keberadaannya dikenal berdasarkan
homogenitas umum baik atas dasar karakter lahan maupun huniannya.
[10] P. Vidal dela Blache, bahwa:
wilayah adalah tempat (domain) tertentu yang di dalamnya terdapat banyak sekali
hal yang berbeda beda, namun secara artifisial bergabung bersama-sama, saling
menyesuaikan untuk membentuk kebersamaan.
[11] A.J. Herbertson, yang
mengartikan: wilayah sebagai bagian dari bagian yang tertentu dari permukaan
bumi yang mempunyai sifat khas tertentu sebagai akibat dari adanya
hubungan-hubungan khusus antara komplek lahan, air, udara, tanaman, binatang
dan manusia sendiri.
[12] Taylor, melihat wilayah dari penampakan
karakteristik memberikan batasan wilayah yaitu, Sebagai suatu daerah tertentu
di permukaan bumi yang dapat dibedakan dengan daerah tetangganya atas dasar
kemampuan karakteristik atau properti yang menyatu.
[13]
ibid
[14] Pasal 1 UU No 23 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah
[15] Soetandyo Wignosubroto, dkk, Pasang Surut Otonomi Daerah Sketsa
Perjalanan 100 Tahun, Institute For Local Development, Jakarta, 2005, hlm
3.
[16] Ibid
[17] Daniel D Kameo, Otonomi Daerah Perkembangan Pemikiran,
Pengaturan dan Pelaksanaan, PT. Citra Aditya Bakti, cet ke II, Bandung
2003, hlm. 25
[18] Ibid, hlm 26
[19] Berdasarkan
Peraturan Pemerintah RIS Nomor 21 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Daerah
Propinsi, yang ditetapkan pada tanggal 14 Agustus 1950.
[22] berdasarkan
Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi
Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara,
[24] (Bali,
Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur) diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor
64 Tahun 1958 dan Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 14 Agustus 1959,
www.nusatenggaranews.com.
[25] (Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan)
didasarkan pada Undang-undang Nomor 29 Tahun 1959, tentang pembentukan
Daerah-daerah Tingkat II di Sulawesi, www.Wikipedia.com
[27] Perjalanan Sejarah Pemekaran Daerah di Indonesia, http://bandungbaratonline.blogspot.com/2010/02/ diakses pada 9
februari 2012
[28] UUD Negara RI 1945, Pasal 18B
Ayat (1)
[29]http://gagasanhukum.wordpress.com/2011/02/28/penataan-dan-pemekaran-daerah-di-kaltim/,
diakses pada 26 januari 2012
[30]Usulan Perubahan Kebijakan Penataan
Daerah (Pemekaran dan Penggabungan Daerah), http://id.answers.yahoo.com/question/index?, diakses pada 12 feb 2012
[31] Sie Infokum -Ditama Binbangkum,
PemekaranDaerah, httpwww.jdih.bpk.go.id, diakses pada 12 Februari 2012
[32] http://patawari.wordpress.com/2009/05/14/kebijakan-pemekaran-daerah,
diakses pada 28 januari 2012
[33]
http://patawari.wordpress.com/2009/05/14/kebijakan-pemekaran-daerah, diakses
pada 28 januari 2012
[34] http://yusril.ihzamahendra.com/2008/01/24/praktek-ketatanegaraan-kita-ke-depan, diakses pada 12 februari 2012
[36] UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah
[37]
Ibid
[38]
Ibid
[39] Dede Rosyada Dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat
Madani, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, Edisi Refisi, Cet ke-2, Jakarta,
2005.
[40] Pasal 1 (14) PP No. 6 Tahun 2008
[41] Ibid, Pasal 1 Ayat (17)
[42] Ibid, Pasal 1 Ayat (15)
[43]
Gamawan Fauzi, MENTERI DALAM
NEGERI RI, Membenahi Sistem Pemerintahan Daerah, http://tempointeraktif.com/khusus/selusur/65tahun/page07.php,
dikases pada 5 januari 2012
[44]
Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar