Kamis, 28 Juni 2012

Harmonisasi Legislasi di tingkat Lokal (Kab. Halmahera Tengah)

HARMONISASI LEGISLATIF DAN EKSEKUTIF DALAM PROSES PEMBUATAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH DI KABUPATEN HALMAHERA TENGAH PROVINSI MALUKU UTARA
Udin Latif, S.H
 
Abstract
Conformity and harmony of the substance of the legislation and compliance with technical elements within the scope of the study penormaannya is very closely related to the fulfillment of material requirements. While the validity of the establishment of a legislation is closely related to the fulfillment of formal requirements. Establishment of legislation is primarily a system. Because in it there are some events that are interwoven in a series inseparable from each other.


A.    PENDAHULUAN
            Indonesia diidealkan dan dicita-citakan oleh the founding fathers sebagai suatu Negara hukum, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Dalam hukum sebagai suatu kesatuan sistem terdapat elemen kelembagaan, elemen kaidah, dan elemen perilaku para subjek hukum yang menyandang hak dan kewajiban yang ditentukan oleh norma aturan itu.[1]
     Penyelenggaraan kekuasaan negara harus diatur oleh norma-norma hukum, yang akan membentuk sistem bernegara itu. Sistem itu harus memberi jaminan agar semua pihak yang terlibat di dalam negara, baik lembaga-lembaga negara, maupun kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat, dapat melakukan kontrol atas jalannya sistem penyelenggaraan negara itu. Kontrol yang kuat, dan memberikan keseimbangan itu, kita harapkan akan memberi jaminan bahwa sistem akan berjalan sebagaimana kita inginkan.[2]
     Sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemerintah Daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada Daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas, Daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman Daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
     Pemerintahan Daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan Otonomi Daerah, perlu memperhatikan hubungan antar susunan Pemerintahan dan antar Pemerintahan Daerah, potensi dan keanekaragaman Daerah. Aspek hubungan wewenang memperhatikan kekhususan dan keragaman Daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aspek hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Di samping itu, perlu diperhatikan pula peluang dan tantangan dalam persaingan global dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Agar mampu menjalankan perannya tersebut, Daerah diberikan kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan Otonomi Daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan Pemerintahan Negara.[3]
     Perundang-undangan itu semakin terasa diperlukan kehadirannya, oleh karena di dalam negara yang berdasarkan atas hukum modern (verzorgingsstaat), tujuan utama dari pembentukan Peraturan Perundang-undangan bukan lagi menciptakan kodifikasi bagi norma-norma dan nilai-nilai kehidupan yang sudah mengendap dalam masyarakat, akan tetapi tujuan utamanya adalah menciptakan modifikasi atau perubahan dalam kehidupan masyarakat.
     Pemikiran kearah pembentukan Perundang-undangan seperti dikemukakan di atas bagi Indonesia harus menjadi perhatian pembentuk Peraturan Perundang-undangan. Ini setidaknya dikarenakan hukum (Peraturan Perundang-undangan) kita masih terlalu jelas merupakan legitimasi penggunaan kekuasaan dan pemitosan superioritas bidang ekonomi dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya.
     Usaha melahirkan Peraturan Perundang-undangan yang responsif/populistik tidak hanya menjadi pekerjaan Pemerintah Pusat, tetapi harus berjalan secara simultan sampai ke Daerah. Dalam konteks ini, Legislasi (Perundang-undangan) mengandung dua arti; Pertama, Perundang-undangan merupakan proses pembentukan peraturan-peraturan negara, ditingkat pusat maupun di tingkat Daerah; Kedua, Perudang-undangan adalah segala peraturan negara yang merupakan hasil pembentukan Peraturan-peraturan, baik ditingkat pusat maupun ditingkat Daerah.
     Memahami arti dari Peraturan Perundang-undangan itu, maka norma hukum dapat dibentuk secara tertulis maupun tidak tertulis oleh lembaga-lembaga yang berwenang membentuknya, sedangkan norma moral, adat, agama dan lainnya terjadi secara tidak tertulis, tumbuh dan berkembang dari kebiasaa-kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Fakta-fakta kebiasaan yang terjadi, mengenai sesuatu yang baik dan buruk, yang berulang kali terjadi, sehingga ini selalu sesuai dengan rasa keadilan dalam masyarakat tersebut, berbeda dengan norma-norma hukum negara yang terkadang tidak selalu sesuai dengan rasa keadilan/pendapat masyarakat. Dalam hubungan ini Hans Kelsen mengemukakan, bahwa hukum adalah termasuk dalam sistem norma yang dinamik (Nomodynamics), oleh karenanya menurut A.Hamid S. Attamimi, hukum itu selalu dibentuk dan dihapus oleh lembaga-lembaga atau otoritas yang berwenang membentuknya, sehingga dalam hal ini tidak kita lihat dari segi isi norma tersebut, tetapi kita melihatnya dari segi berlakunya atau pembentukannya. Hukum itu adalah sah apabila dibuat oleh lembaga atau otoritas yang berwenang membentuknya dan berdasarkan norma yang lebih tinggi, sehingga dalam hal ini norma yang lebih rendah (inferior) dapat dibentuk oleh norma yang lebih tinggi (superior), dan hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis membentuk suatu hirarkhi.
     Berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang sudah diamandemen, di Indonesia kekuasaan penyelenggaraan negara tidak lagi terpusat pada Presiden, ini setidaknya ditandai dengan tidak lagi kekuasaan membentuk Undang-undang dipegang Presiden, tetapi kekuasaan itu dipegang oleh DPR. Dalam hal ini Presiden hanya kebagian mengajukan Rancangan Undang-undang. Demikian juga halnya di Daerah, kekuasaan membentuk Peraturan Perundang-undangan berada ditangan DPRD, Kepala Daerah hanya kebagian mengajukan Rancangan Peraturan Daerah.
     Peraturan Daerah (Perda) adalah Peraturan Perundang-undangan yang  dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala Daerah (vide Pasal 1 angka 7 UU No. 10 Tahun 2004). Melalui amandemen UUD 1945 yang kedua, Perda mendapatkan landasan konstitusionalnya di dalam konstitusi yang keberadaannya digunakan untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan (vide Pasal 18 ayat (6) UUD 1945). Selanjutnya Pasal 12 UU No. 10 Tahun 2004 menggariskan materi muatan Perda adalah seluruh materi muatan dalam rangka:
a. penyelenggaraan otonomi dan tugas pembantuan;
b. menampung kondisi khusus daerah; serta
c. penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
     Dalam pendekatan Stufenbau des Recht yang diajarkan Hans Kelsen, hukum positif (Peraturan) dikonstruksi berjenjang dan berlapis-lapis, Peraturan yang rendah bersumber dari dan tidak boleh bertentangan dengan Peraturan yang lebih tinggi. Teori tersebutlah kemudian dalam ilmu hukum turun menjadi asas “lex superior derogat lex inferiori.” Dalam nalar lain, Perda dianggap sebagai Peraturan yang paling dekat untuk mengagregasi nilai-nilai masyarakat di Daerah. Peluang ini terbuka karena Perda dapat dimuati dengan nilai-nilai yang diidentifikasi sebagai kondisi khusus Daerah. Oleh karena itulah banyak Perda yang materi muatannya mengatur tentang Pemerintahan terendah yang bercorak lokal seperti Nagari di Sumatera Barat, Kampong di Aceh, atau yang terkait pengelolaan sumberdaya alam seperti Perda pengelolaan hutan berbasis masyarakat, hutan rakyat, pertambangan rakyat dan lain sebagainya.
     Disamping itu, posisi Perda yang terbuka acap juga menjadi instrumen Pemerintah Daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah melalui pungutan yang timbul dari Perda pajak daerah atau Perda retribusi daerah. Perda jenis terakhir inilah yang paling mendominasi jumlah Perda sepanjang otonomi daerah yang bergulir sejak berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004. Dalam Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 diurutkan tingkatan Peraturan Perundangan-undangan mulai dari, UUD, UU/Perpu, PP, Perpres, Perda. Selanjutnya Perda terdiri dari: Perda Provinsi, Perda Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa.

 B.  RUMUSAN MASALAH
     Dari uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat di rumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.   Sudah terjalinkah  hubungan yang harmonis antara Legislatif dan Eksekutif dalam proses pembuatan Rancangan Peraturan Daerah di Kabupaten Halmahera Tengah?
2.    Apakah dalam proses pembuatan Rancangan Peraturan Daerah telah melalui tahapan serta mekanisme atau tata urutan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku?
   
   C.    PEMBAHASAN
1. Undang-undang formal (Formell Gesetz)
      
     Kelompok norma-norma hukum yang berada di bawah aturan dasar Negara/aturan pokok Negara (staatsgrundgesetz) adalah formell gesetz atau secara harfiah diterjemahkan dengan Undang-undang ‘formal’. Berbeda dengan kelompok-kelompok norma di atasnya, yaitu norma dasar negara dan aturan dasar negara/aturan pokok negara, maka norma-norma dalam suatu undang-undang sudah merupakan norma hukum yang lebih konkrit dan terinci, serta sudah dapat langsung berlaku di dalam masyarakat. Norma hukum dalam undang-undang ini tidak saja norma hukum yang bersifat tunggal, tetapi norma-norma hukum itu dapat merupakan norma hukum yang berpasangan, sehingga terdapat norma hukum sekunder disamping norma hukum primernya, dengan demikian bersifat sanksi, baik itu sanksi pidana maupun sanksi pemaksa. Selain itu, undang-undang (wet/gesetz/act) ini berbeda dengan peraturan-peraturan lainnya, oleh karena suatu Undang-undang merupakan norma hukum yang selalu di bentuk oleh suatu lembaga legislatif.[4]   
     Menurut Undang-undang Dasar 1945, dalam sistem Perundang-undangan di Indonesia hanya dikenal istilah Undang-undang saja, yang dapat di persamakan dengan ‘wet’ yaitu ‘formele wet’, sebagai suatu keputusan yang dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, atau setelah perubahan UUD 1945 dibentuk oleh Dewan Perwalan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden, dan disahkan oleh Presiden.
     Peraturan Perundang-undangan lainnya tidak dapat disebut dengan Undang-undang dalam arti materiil (wet in materiele zin) oleh Peraturan Perundang-undangan lainnya dibentuk oleh lembaga-lembaga lain di samping Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. Dalam sistem Perundang-undangan di Indonesia hanya dikenal satu nama jenis Undang-undang, yaitu suatu keputusan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dengan persetujuan bersama Presiden dan disahkan oleh Presiden. Selain itu tidak ada Undang-undang yang dibentuk oleh lembaga lainnya baik di Pusat maupun di Daerah, sehingga Indonesia tidak ada istilah Undang-undang Pusat ataupun Undang-undang lokal.[5]

2. Desentralisasi dan Otonomi Daerah
          Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang secara ketatanegaraan baru diangkat derajatnya sebagai bagian dari tata susunan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia berdasarkan TAP. MPR No III/MPR/1999. Sebelumnya, Peraturan Daerah ditempatkan sebagai peraturan lainnya yang berkedudukan lebih rendah dari Instruksi Menteri yang sesungguhnya tidak termasuk ke dalam apa yang disebut dengan peraturan perundang-undangan, akan tetapi dalam praktiknya Peraturan Daerah harus tunduk pada instruksi Menteri, dimana karena dibuat oleh Menteri yang dipandang dalam kedudukannya sebagai Pembantu Presiden.
     Kewenangan Pembentukan Peraturan Daerah sebelum lahirnya TAP MPR dan diamandemennya UUD 1945 dipandang sebagai suatu pemberian kewenangan (atribusian) dari UU Pemerintahan Daerah dan dilain pihak pembentukan suatu Peraturan Daerah dapat juga merupakan pelimpahan wewenang (delegasi) dari suatu Keputusan Presiden.
     Keberadaan Peraturan Daerah dalam UUD 1945 sebelum diamandemen memang tidak dikenal, sehingga Peraturan Daerah termarjinalkan dalam tata susunan Peraturan Perundang-undangan Indonesia. Tidak demikian halnya dengan setelah UUD 1945 diamandemen, eksistensi Peraturan Daerah sudah dikukuhkan secara konsitusional sebagaimana dituangkan dalam Pasal 18 ayat (6) yang selengkapnya berbunyi; Pemerintahan Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
     Dengan demikian Pemerintahan Daerah menetapkan Peraturan Daerah bukanlah lagi dikarenakan adanya perintah dari UU yang mengatur Pemerintahan Daerah, melainkan merupakan amanat dari konstitusi. Artinya, suatu UU yang dibentuk mengenai susunan dan tata cara penyelenggaraan Pemerintahan Daerah harus memberikan hak kepada Pemerintahan Daerah untuk menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan lain, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Namun demikian, dalam prakteknya dalam pembentukan Peraturan Daerah, Pemerintahan Daerah belum memahami hak konstitusional yang diberikan UUD 1945. Dalam melakukan pembentukan Peraturan Daerah dalam perspektif norma hukum yang dinamik dan hirakhis itu saja misalnya, maka pembentukan suatu Peraturan Perundang-undangan negara bukanlah suatu pekerjaan mudah. Pembentuk Peraturan Perundang-undangan dituntut memiliki pengetahuan yang cukup, sehingga produk Perundang-undangan yang dihasilkan menjadi responsif dan populistik. [6]
     Desentralisasi menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2004 adalah penyerahan wewenang Pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan Pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan di dalam pasal 1 Ayat (5) menyebutkan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan. [7]
     Dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar 1945, Pemerintahan Daerah yang mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
     Bahwa efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antarsusunan Pemerintahan dan antar Pemerintahan Daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global, dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan Pemerintahan Negara.[8]
Otonomi daerah secara garis besar dapat dikatakan bahwa hadirnya satuan pemerintahan teritorial yang lebih kecil dalam wilayah Negara Kesatuan Indonesia, yaitu Pemerintah Daerah yang didalamnya mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya, dapat dijelaskan dengan beberapa alasan berikut:
1.  Sebagai perwujudan fungsi dan peranan Negara modern, yang lebih menekankan upaya memajukan kesejahteraan umum (wefare state).
2.   Hadirnya otonomi daerah dapat pula didekati dari perspektif politik. Negara sebagai organisasi kekuasaan, yang di dalamnya terdapat lingkungan kekuasaan-kekuasaan, baik pada tingkat supra struktur maupun infrastruktur, cenderung menyalahgunakan kekuasaan.
3.   Dari perspektif manajemen Pemerintahan Negara modern, adanya kewenangan yang diberikan kepada Daerah, yaitu berupa keleluasaan dan kemandirian untuk mengatur dan mengurus urusan Pemerintahannya, merupakan perwujudan dari adanya tuntutan efisiensi dan efektifitas pelayanan kepada masyarakat demi mewujudkan kesejahteraan umum. [9]
     Secara teoritis, pembagian kekuasaan menurut bentuk Negara mengkategorikan bahwa negara konfederasi menganut paham yang sangat desentralistik. Sedangkan negara unitaris menganut paham yang sangat sentralistik. Negara Kesatuan RI, menurut Soerya, tidak sepenuhnya menganut paham keduanya karena dalam UUD 1945 khususnya Pasal 18 ayat (1) disebutkan bahwa Negara Kesatuan RI dibagi atas Daerah-daerah Propinsi dan Daerah Propinsi itu dibagi atas Daerah Kabupaten dan Kota, yang di tiap-tiap wilayah tersebut terdapat Pemerintahan Daerah yang diatur dengan Undang-undang.
     Pemerintah Daerah Propinsi, Kabupaten dan Kota itu mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Hal ini menunjukkan dalam UUD 1945, sentralistik bukanlah sebuah pilihan dan kecenderungan kepada desentralisasi menjadi pillihan yang tak dapat dihindari dalam NKRI. Karena, secara geografis, wilayah Indonesia adalah wilayah kepulauan dan sangat plural. UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah condong pada titik sentralistik. Sedangkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah justru condong pada titik desentralistik. Dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah nampaknya berupaya pada titik keseimbangan antara sentralisasi dan desentralisasi.
     Yang lebih penting, di tengah-tengah kompetisi global saat ini, justru Daerah-daerah harus kuat supaya negara, secara nasional, kokoh. Lebih baik lagi bila bangsa Indonesia mampu memperkokoh nasionalisme dari hasil resultant pengaruh global maupun kedaerahan. Contoh analoginya, bila bahasa Indonesia ingin kuat, maka basis bahasa daerah juga harus kuat, sebab Indonesia menghadapi ancaman bahasa asing.   Sama halnya, perlu disadari bersama bahwa Pemerintahan Daerah dan otonomi daerah itu sejatinya harus kuat. Tapi, pihak Pemerintah Daerah dan DPRD juga harus menyadari bahwa otonomi daerah itu tidak identik dengan otonomi Pemerintah Daerah atau Pejabat Daerah. Otonomi daerah harus dilihat dalam konteks yang di dalamnya ada otonomi masyarakat daerah yang harus diberi hak berdaulat untuk otonom. Pemerintahan Daerah hanyalah refleksi dari kedaulatan dan otonomi masyarakat daerah itu. Masyarakat diurus oleh pengurus dan pejabat di Pemerintahan Daerah.
     Terkait dengan eksistensi DPRD, banyak yang berpendapat bahwa DPRD bukanlah lembaga legislatif melainkan bagian dari Pemerintah. Padahal, dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sudah jelas dirumuskan bahwa DPRD dengan Kepala Daerah mempunyai mekanisme hubungan yang sama seperti halnya DPR dengan Kepala Negara.
     Selain itu, perlu ditata pula institusionalitas DPRD melalui terciptanya visi kelembagaan untuk membangun capacity building, yang nantinya akan diteruskan oleh para pengganti orang-orang yang kini sedang menjabat. Untuk itu, diperlukan adanya blue print kelembagaan untuk menentukan fungsi lembaga untuk 20 hingga 40 tahun mendatang. Sebab, bila tak dilakukan, dari tahun ke tahun, tak akan ada perubahan kualitas organisasi kenegaraan.[10]

3. Reformulasi hubungan DPRD-Kepala Daerah
     
   Dalam sejarah administrasi publik pernah dipersoalkan pemisahan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif secara riil, yang dikenal dengan “dikotomi administrasi politik” tetapi ternyata dunia legislatif dan eksekutif bukan dunia dikotomis. Meskipun memiliki fungsi yang berbeda tetapi sifat dari fungsi tersebut sangat komplementer atau saling mengisi. Keterkaitan antara keduanya secara tegas dirumuskan dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 19 Ayat (2) bahwa keduanya sebagai mitra sejajar yang sama-sama melakukan tugas sebagai penyelenggara Pemerintahan Daerah. Itu berarti bahwa salah satu dari keduanya tidak boleh ada yang disubordinatkan. Tidak ada peran yang bisa disubstitusikan oleh lembaga lain. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang sepatutnya diteropong untuk diketahui bersama antara keduanya dalam membangun hubungan yang ideal dan harmonis yakni:
1.     legitimasi kekuasaan, kedua lembaga (Legislatif dan Eksekutif) ini sama-sama mendapat legitimasi rakyat, keduanya dipilih rakyat secara langsung.
2.     Masyarakat di daerah, bagi eksekutif, masyarakat adalah pihak yang harus dilayani, dipuaskan dengan berbagai kebijakan populis yang dibuat bersama legislatif. Sedangkan bagi DPRD yang berasal dari parpol, masyarakat adalah konstituen dan basis politik yang sangat mempengaruhi evolusi partai yang berjalan linear dengan kepentingan individunya. Masyarakat baik bagi parpol maupun Pemerintah Daerah adalah sumber legitimasi, dan mandat politik atau kekuasaan.
3.   Posisi politik masing-masing, baik DPRD maupun Pemerintah Daerah merupakan mitra sejajar dan penyelenggara Pemerintahan di Daerah (Pasal 19 UU No. 32 Tahun 2004). Peran tersebut harus diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
4.  Saling memahami tugas, wewenang, kewajiban dan bahkan larangan yang sudah digariskan UU Pemerintahan Daerah. Kedua lembaga berhak untuk sama-sama membuat Perda (Pasal 140 ayat 1 UU No. 32 Tahun 2004). Tetapi pada saat pembahasan tentang Perda yang substansinya sama, maka yang harus di dahulukan adalah Perda yang dibuat oleh legislatif, sedangkan Perda yang dibuat oleh eksekutif sebagai bahan perbandingan (Pasal 140 Ayat 2 UU No. 32 Tahun 2004). [11]
     Kondisi tidak harmonis (disharmoni) dalam bidang Peraturan Perundang-undangan sangat besar potensinya. Hal ini terjadi karena begitu banyaknya Peraturan Perundang-undangan di negara kita. Untuk Undang-undang saja bisa dilihat pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Sebagaimana diketahui bahwa jumlah program legislasi yang diajukan, setiap tahun terus bertambah, Ternyata, perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat berubah sesuai dengan perkembangan zaman itu sendiri. Pasal 17 ayat (3) Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) menentukan bahwa “Dalam keadaan tertentu, Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang-undang di luar Program Legislasi Nasional (Prolegnas).”  Ketentuan ini kemudian digunakan oleh DPR-RI dan Pemerintah untuk mengembangkan keinginannya mengatur sesuatu dalam Undang-undang di luar Prolegnas. Apabila kita cermati, usulan-usulan RUU tersebut secara jujur sebetulnya tidak perlu selalu dalam bentuk Undang-undang, tetapi dapat berupa Peraturan Perundang-undangan lain di bawah Undang-undang atau bahkan cukup dengan kebijakan saja. Dari keinginan tersebut, ternyata membawa dampak yang sangat luas terhadap pencapaian atau target yang semula telah disepakati yang berakibat terbengkelainya Prolegnas itu sendiri.
     Selain itu, sistem hukum yang berlaku di negara kita juga paling tidak ada tiga, yaitu sistem hukum adat, hukum Islam, dan hukum barat. Dengan tiga sistem hukum yang masih berlaku dan dihormati di negara kita, maka potensi untuk terjadi ketidakharmonisan sangat mungkin. Kemudian, lembaga/instansi yang berwenang membentuk Peraturan Perundang-undangan juga banyak sekali, hitung saja berapa Departemen yang ada, berapa Kementerian Negara yang ada, berapa lembaga Pemerintah nondepartemen yang ada, dan berapa Komisi/Dewan yang ada. Ditambah lagi, berapa Provinsi dan berapa Kabupaten/Kota terkait dengan pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Daerah.
     Upaya pengharmonisasian Peraturan Perundang-undangan dilakukan, selain untuk memenuhi ketentuan Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, paling tidak  ada 2 alasan lain yang perlu dipertimbangkan, yaitu:
1.   Peraturan Perundang-undangan merupakan bagian integral dari sistem hukum. Peraturan Perundang-undangan sebagai suatu sistem atau sub sistem dari sistem yang lebih besar tentu harus memenuhi ciri-ciri antara lain ada saling keterkaitan  dan saling tergantung dan merupakan satu kebulatan yang utuh, di samping ciri-ciri lainnya. Dalam sistem Peraturan Perundang-undangan yang tersusun secara hierarkis, ciri-ciri tersebut dapat diketahui dari ketentuan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 7ayat (5) Undang undang Nomor 10 Tahun 2004. Pasa l2 menentukan bahwa Pancasila  merupakan  sumber dari segala sumber hukum Negara, sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Kemudian Pasal 3 ayat (1) menentukan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar Peraturan Perundang-undangan. Penjelasan Pasal 3 ayat (1) menentukan bahwa Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memuat hukum dasar negara merupakan sumber hukum bagi pembentukan Peraturan Perudang-undangan di bawah Undang-undang Dasar. Selanjutnya Pasal 7 ayat (5) menentukan kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki Peraturan Perundang-undangan.
     Dari ketentuan di atas jelas bagaimana saling keterkaitan dan saling ketergantungan satu Peraturan Perundang-undangan dengan Peraturan Perundang-undangan lain yang merupakan satu kebulatan yang utuh. Nilai-nilai Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara harus mengalir dalam materi muatan Peraturan Perundang-undangan. Demikian pula Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan sumber hukum bagi pembentukan Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-undang Dasar. Pengharmonisasian dilakukan untuk menjaga keselarasan, kemantapan, dan kebulatan konsepsi Peraturan Perundang-undangan sebagai sistem agar Peraturan Perundang-undangan berfungsi secara efektif.
2.     Menjamin proses Pembentukan Peraturan perundang-undangan dilakukan secara taat asas demi kepastian hukum dan dalam rangka membentuk Peraturan Perundang-undangan yang baik yang memenuhi berbagai persyaratan yang berkaitan dengan sistem, asas, tata cara penyampaian dan pembahasan, teknis penyusunan serta pemberlakuannya dengan membuka akses kepada masyarakat untuk berpartisipasi. Peraturan Perundang-undangan sebagai hukum tertulis yang sangat penting dalam sistem hukum kita dan mengikat publik haruslah mengandung kepastian, sehingga akibat dari tindakan tertentu yang sesuai atau yang bertentangan dengan hukum dapat diprediksi. Dengan demikian Peraturan Perundang-undangan dapat menjadi sarana yang penting untuk menjaga hubungan yang sinergis antarwarga masyarakat dan antara warga masyarakat dengan Pemerintah untuk mewujudkan tujuan bersama secara dinamis, tetapi tertib dan teratur.[12]
    
     Ide-gagasan kunci dalam konsep konstitusionalisme adalah pembatasan terhadap kekuasaan. Caranya bisa sangat beragam yang bergantung pada bagaimana kekuatan-kekuatan politik yang ada mampu merumuskan dan melembagakannya di dalam sebuah konstitusi. Dalam hubungan ini, kita mengenal dua pemikir besar, John Locke, yang berkebangsaan Inggris, dan Montesquieu, yang berkebangsaan Perancis. Keduanya sama-sama menolak praktek penyelenggaraan pemerintahan monarki absolut di negeri mereka masing-masing.
     John Locke tersohor dengan konsep pembagian kekuasaan, sedangkan Montesquieu tersohor dengan konsep pemisahan kekuasaan. Jika dicermati secara sungguh-sungguh, konsep yang sangat sering disalah-mengerti oleh berbagai kalangan adalah konsep pemisahan kekuasaan dari Montesqieu. Konsep yang sering didengung-dengungkan oleh beberapa kalangan di berbagai kesempatan adalah tiga cabang kekuasaan: Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Ketiganya sering dipandang secara terpisah satu dengan lainnya secara rigid. Ada juga mengatakan tentang terjadinya intervensi ketika satu cabang kekuasaan membicarakan sesuatu hal yang merupakan hak dari cabang kekuasaan lainnya. Rujukan yang selalu digunakan oleh pihak-pihak yang berpendapat demikian adalah Amerika Serikat.
     Sebenarnya, sejak awal, para pembuat konstitusi Amerika Serikat sama sekali tidak bermaksud untuk memisahkan ketiga kekuasaan tersebut secara rigid. Kenyataannya, kekuasaan dari ketiga cabang kekuasaan tersebut dirumuskan dan dialokasikan secara tumpang tindih. Karena itu, Presiden, misalnya, diberi hak yang secara konsepsional sebenarnya merupakan wewenang yudikatif. Contoh, hak seorang Presiden yang memberi pengampunan. Selain itu, Presiden juga memiliki kekuasaan legislatif. Contoh, Presiden membuat Rancangan Undang-undang. Sebaliknya, Presiden diberi hak untuk menolak menandatangani Undang-undang yang telah dibuat dan dikaji oleh House of Representative. Apabila Presiden menolak menandatangani satu Undang-undang yang telah diputuskan oleh House of Representative, pengambilan keputusan terhadap Undang-undang yang dikembalikan oleh Presiden tersebut harus melibatkan Senat.
     Sebaliknya, legislatif memiliki tugas yang secara konsepsional merupakan hak Presiden. Contoh, senat memberi pertimbangan dan persetujuan kepada Presiden dalam hal Presiden hendak mengangkat seorang Duta Besar. Demikian juga, Presiden harus meminta persetujuan Senat, apabila Presiden hendak menyatakan perang. Hal ini menunjukan bahwa pemisahan kekuasaan di Amerika Serikat tidak bersifat rigid.
     Harus diakui pula bahwa, dilihat dari sudut paham konstitusionalisme, hubungan antara eksekutif dan legislatif bukanlah semata-mata hubungan yang bersifat hubungan hukum, melainkan juga merupakan hubungan politik. Hubungan hukum bersifat imperatif, sedangkan hubungan politik bersifat saling mempengaruhi dan tawar-menawar. Inilah letak urgennya keterampilan politik dari masing-masing pihak untuk digunakan. Bobot hubungan ini merupakan cerminan dari peran kedua belah pihak.
     Peran legislatif, dalam kenyataannya, tidak selalu ditentukan oleh lengkap-tidaknya pengaturan tentang hak, tugas dan wewenang dari anggota legislatif. Kebudayaan politik, yang sesungguhnya merupakan ruh dari budaya hukum, justru sangat berpengaruh dalam menentukan postur hubungan antara legislatif dan eksekutif. Sungguhpun demikian, kedua soal ini, tidak dapat disatukan begitu saja. Politik merupakan hal yang sangat berbeda dengan hukum. Konsekuensi-konsekuensinya pun berbeda. Karena politik memiliki perbedaan dengan hukum. Politik hanya berkaitan dengan deskripsi, kemampuan, dan ketepatan analisis terhadap fenomena-fenomena politik, sedangkan hukum jelas-jelas memiliki patokan norma dan kaidah. [13]
Pemerintah Daerah yang didalamnya mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, dan hubungan antara DPRD dan Pemerintah Daerah kini bersifat kemitraan. meskipun masih banyak kekurangan dan kelemahan.
      Antara Lembaga Legislatif dan Eksekutif keduanya adalah mitra kerja, yang apabila suatu Ranperda itu di usulkan oleh salah satu Lembaga, baik dari Legislatif maupun Eksekutif  lalu dibahas bersama untuk disahkan sebagai Perda.
      Berdasarkan hasil wawancara dengan Wakil Bupati Halmahera Tengah, dinyatakan bahwa selama masa dua periode, Ranperda yang dibahas oleh Eksekutif bersama dengan DPRD Kabupaten Halmahera Tengah adalah Ranperda yang diprakarsai oleh Lembaga Eksekutif, sementara Lembaga Legislatif belum pernah menggunakan hak Inisiatifnya untuk mengajukan Ranperda. [14]
     Menurut Ketua DPRD Kabupaten Halmahera Tengah saat menanggapi tentang pernyataan dari Wakil Bupati di atas, Ketua DPRD menyatakan bahwa ini diakibatkan oleh karena masih kurangnya perangkat pendukung yang dimiliki oleh DPRD Kabupaten Halmahera Tengah, misalnya di DPRD Kabupaten Halmahera Tengah belum ada sebuah Badan Legislasi DPRD, selain itu juga kondisi  geografis yang mengakibatkan DPRD sangat kesulitan untuk melakukan penjaringan aspirasi masyarakat (Asmara), sehingga seolah DPRD tidak mampu untuk mengakomodasi seluruh keinginan masyarakat Kabupaten Halmahera Tengah.
      Selain itu kendala yang lainnya adalah setiap Ranperda yang dibuat harus disesuaikan dengan ketentuan yang lebih tinggi berdasarkan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Menurut pandangan Ketua DPRD Kabupaten Halmahera Tengah, apabila ada Perda-perda yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, misalnya tentang retribusi, sumbangan pihak ketiga, ini kemudian bertentangan dengan Peraturan yang lebih tinggi, inilah yang menjadi Kendala bagi DPRD. Oleh karena itu sering dikatakan bahwa, sumber daya alam (SDA) milik kita sementara pengelolaannya dilakukan oleh pihak lain dan pemanfaatannya untuk Daerah sangat kecil, salah satu contoh adalah PT. Weda By Nickel yang saat ini sedang beroperasi di Desa Lelilef.
     SDA milik masyarakat Halmahera Tengah, pengelolaannya oleh PMA, dan Daerah belum mendapatkan sesuatu hingga saat ini. Disaat DPRD Kabupaten Halmahera Tengah mengajukan Ranperda tentang sumbangan pihak ketiga ke Pemerintah Provinsi Maluku Utara untuk dievaluasi tapi dibatalkan, inilah problem yang dialami oleh DPRD Kabupaten Halmahera Tengah.[15]
      Transisi di tingkat daerah seharusnya diprakarsai oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) melaui penyusunan Peraturan Daerah yang berorientasi terutama untuk melakukan perubahan terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah yang transparan, akuntabel dan partisipatif serta melindungi potensi dan kearifan lokal (Local Wisdom) yang ada di daerahnya. Berdasarkan UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR/DPR/DPD dan DPRD dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah memberikan kekuasaan membuat Perda kepada DPRD.
      Namun pergeseran kekuasan Legislasi di Daerah dari Eksekutif kepada Legislatif tersebut belum disertai dengan peningkatan produktifitas DPRD dalam memproduk Perda yang berasal dari inisiatif DPRD, lalu dimana letak urgensi dari pergeseran tersebut kalau pergeseran itu tidak dibarengi dengan peningkatan baik kualitas maupun kuantitas Perda dari inisiatif DPRD.[16]
      Kelemahan DPRD tersebut terlihat dari penggunaaan hak-hak DPRD dalam melaksanakan fungsi Legislatifnya yaitu: Hak Penyelidikan, Hak Mengajukan pertanyaan, dan Hak Inisiatif. Dari hasil wawancara dengan beberapa informan, dan studi dokumentasi, penggunaan hak-hak inisiatif DPRD tersebut belum pernah digunakan oleh DPRD.
      Kondisi ideal terwujud manakala hubungan Eksekutif dan Legislatif Daerah terbangun pada pola hubungan searah positif. Dalam membangun pola hubungan ini, keduanya tidak semata-mata didasarkan atas sistem atau Perundang-undangan yang berlaku, tetapi juga didasarkan pada konsensus-konsensus etis dan nilai-nilai budaya lokal. Untuk menjamin bahwa pola hubungan keduanya terbangun searah positif, maka ruang publik (Public sphere) harus terbangun secara luas. Public sphere akan memberikan ruang yang cukup bagi interaksi antara Pemerintah Daerah dan DPRD dan interaksi antara masyarakat dengan Pemerintah Daerah dan DPRD dalam menggunakan fungsi kontrol terhadap kinerja Pemerintah Daerah dan DPRD.
      Hubungan Eksekutif dan Legislatif dalam Formulasi Kebijakan Publik Aktifitas formulasi kebijakan publik secara prosesual digarap dalam paduan jejaring kerja (network) antara lembaga legislatif dan eksekutif yang saling berbagi kewenangan (yurisdiksi). Interaksi antara Legislatif dan Eksekutif dalam aktifitas terpadu. Secara teoritik, dalam formatnya legislatif berorientasi pada terjaganya hak-hak politik rakyat, sementara eksekutif berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Dalam mencapai kesejahteraan rakyat tidak bisa menafikan hak-hak politik rakyat, karena justru kesejahteraan rakyat diukur dari tidak terabaikannya hak-hak politik rakyat. Dalam perspektif ini, ketersediaan ruang publik sebagai wahana penyampaian aspirasi masyarakat menjadi sangat penting dalam rangka memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk dapat menyampaikan aspirasinya dengan mudah.
      Banyak kebijakan yang dibuat dalam bentuk Perda, karena secara umum Undang-undang maupun Peraturan yang dibuat masih belum jelas sehingga ketentuan lebih lanjut di atur di dalam Perda, hal ini karena Negara Indonesia adalah negara yang plural dan terdiri dari berbagai macam kultur dan budaya sehingga dalam membuat Perda pun harus disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik daerah masing-masing.[17]
      Desentralisasi memiliki relasi kuat dengan demokrasi didasarkan pada asumsi bahwa desentralisasi dapat membuka ruang yang lebih besar kepada masyarakat untuk terlibat di dalam proses pembuatan keputusan-keputusan politik di Daerah. Hal ini berkaitan dengan realitas bahwa setelah ada desentralisasi, lembaga-lembaga yang memiliki otoritas di dalam proses pembuatan dan implementasi kebijakan publik itu lebih dekat denga rakyat. Kedekatan itu juga yang memungkinkan rakyat melakukan kontrol terhadap Pemerintah Daerah. Dengan demikian Pemerintah Daerah diharapkan memiliki akuntabilitas yang lebih besar lagi.
      Menurut Bagir Manan, kehadiran satuan Pemerintahan otonom dalam kaitannya dengan demokrasi akan menampakkan hal-hal berikut:
1.      Secara umum, satuan pemerintahan otonom tersebut akan lebih mencerminkan cita demokrasi daripada sentralisasi;
2.      Satuan pemerintahan otonom dapat dipandang sebagai esensi sistem demokrasi;
3.      Satuan pemerintah otonom dibutuhkan untuk mewujudkan prinsip kebebasan dalam penyelenggaraan Pemerintahan; dan
4.      Satuan Pemerintahan otonom dibentuk dalam rangka memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya terhadap masyarakat yang mempunyai kebutuhan dan tuntutan yang berbeda-beda.[18]
      Yang menjadi kendala bagi lembaga Eksekutif Kabupaten Halmahera Tengah dalam proses pembuatan Ranperda adalah dalam proses pembahasan Ranperda itu sendiri, karena biasanya kehadiran anggota DPRD tidak memenuhi kuorum, dan terkadang pejabat terkait tidak hadir dalam proses pembahasan Ranperda, padahal dalam proses pembahasan Ranperda membutuhkan waktu yang cukup panjang. Apalagi dalam proses pembahasan Ranperda sering terjadi beda pendapat antara Legislatif dan Eksekutif sehingga pembahasan selalu dipending hingga berminggu-minggu.[19]
      Apabila adanya perbedaan pendapat antara Eksekutif dan Legislatif dalam pembahasan Ranperda, maka pembahasan akan diskorsing, misalnya perbedaan pendapat dalam proses ranperda tentang desa, maka masing-masing pihak harus turun kembali ke desa untuk mengambil data kembali kemudian disinkronisasikan kembali data diperoleh antara lembaga Eksekutif dan Legislatif apakah sama ataukah tidak, dan tetap diselesaikan dengan cara musyawarah dan mufakat.[20]
      Khusus untuk Kabupaten Halmahera Tengah, karena kultur Fagogoru (Kekeluargaan) nya masih sangat kental sehingga dalam menghadapi masalah seperti ini lebih mengedepankan perasaan, hal inilah yang menjadi faktor DPRD terkadang menjadi dilematis dalam mengambil tindakan tegas, sehingga dalam menjalankan fungsi pengawasannya berakhir pada win-win solution, setiap pelanggaran selalu ditolerir.[21]
      Dalam proses pembuatan Ranperda, memakan waktu yang cukup panjang, karena sebelum melakukan rancangan, terlebih dahulu harus turun ke masyarakat untuk mengambil data, setelah mengambil data kemudian melakukan analisa data, lalu menyusun Ranperda. Ini semuanya membutuhkan anggaran, jadi yang menjadi dilema bagi Eksekutif adalah Masalah anggaran yang sangant terbatas.[22]
      Kalaupun keterbatasan anggaran dijadikan alasan sebagai hambatan dalam proses pembuatan Ranperda sangat kurang tepat, karena masalah anggaran telah dianggarkan didalam pembahasan APBD, dan Pemerintantah Daerah telah membahasnya terlebih dahulu tentang pembahasan Ranperda dalam masa satu tahun.[23]
      Keberhasilan pelaksanaan kebijakan mensyaratkan interaksi dan koordinasi sejumlah besar lembaga pada tingkat pemerintahan yang berbeda, mengharuskan tindakan-tindakan pendukung oleh badan-badan Pemerintahan Daerah, regional, dan nasional serta kerjasama oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan kelompok-kelompok yang bersangkutan.
      Diantara dua kelembagaan tersebut jika dihadapkan dengan pertanyaan siapa yang lebih besar peranannya dalam pembentukan Perda, maka jelas di dalam kenyataannya Kepala Daerah dengan perangkatnya yang mendominasi, berdasarkan pertimbangan logis bahwa informasi, keahlian, dan sumber daya atau sarana penunjang lainnya dimiliki dan dikuasai oleh Pemerintah Daerah, sehingga Pemerintah Daerahlah yang lebih mengetahui apa, kapan, dan bagaimana sesuatu perlu diatur dengan Perda.
      Efektivitas hubungan dan jalinan antar lembaga yang melaksanakan kebijakan-kebijakan desentralisasi tampaknya bergantung pada:
a.       Kejelasan dan konsistensi tujuan kebijakan dan tingkat kejelasan arah yang dipahami oleh badan-badan pelaksana untuk menempuh upaya-upaya yang mengarah pada tercapainya tujuan kebijakan;
b.      Alokasi fungsi dan peran yang tepat antara badan-badan pelaksana, berdasarkan kemampuan dan sumberdayanya;
c.       Tingkat standarisasi bagi prosedur perencanaan, penetapan anggaran, dan pelaksanaan yang pada gilirannya dapat mengarungi kadar interpretasi yang bertentangan yang menjadikan sulitnya program dan kebijakan dikoordinasikan;
d.      Akurasi, konsistensi, dan kualitas komunikasi antar lembaga yang memungkinkan lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan dapat memahami peran dan tugas mereka serta mendukung upaya-upaya pihak lain; dan
e.       Efektivitas ikatan antar satuan kantor administratif terdesentralisasi yang menjamin berlangsungnya interaksi dan memungkinkan upaya koordinasi.[24]
      Otonomi Daerah mempunyai prospek yang bagus di masa mendatang dalam menghadapi segala tantangan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. untuk dapat mewujudkan prospek Otonomi Daerah di masa mendatang tersebut diperlukan suatu kondisi yang kondusif diantaranya yaitu :
a.       Adanya komitmen politik dari seluruh komponen bangsa terutama Pemerintah dan lembaga perwakilan (DPRD) untuk mendukung dan memperjuangkan implementasi kebijakan Otonomi Daerah.
b.      Adanya konsistensi kebijakan penyelenggara negara terhadap implementasi kebijakan Otonomi Daerah.
c.       Kepercayaan dan dukungan masyarakat serta pelaku ekonomi dalam Pemerintah dalam mewujudkan cita-cita Otonomi Daerah.
     Dengan kondisi tersebut bukan merupakan suatu hal yang mustahil Otonomi Daerah mempunyai prospek yang sangat cerah di masa mendatang.

4. Tahapan serta mekanisme yang dilalui oleh DPRD dan Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Tengah Dalam Proses Pembuatan Rancangan Peraturan Daerah
      
     Tentunya masyarakat sangat mengharapkan agar perda-perda yang dibuat natinya dapat berdaya guna untuk kemajuan Kabupaten Halmahera Tengah yang tentunya untuk kesejahteraan masyarakat secara luas. Oleh karena itu, untuk menghasilkan Perda yang baik haruslah mempunyai persyaratan-persyaratan yang berkaitan dengan sistem, azas, tata cara penyiapan, pembahasan, teknik penyusunan serta pemberlakuannya.
      Dalam hal tata cara pembentukan Peraturan Perundang-undangan termasuk pembentukan Perda telah diatur dengan  UU No. 10 Tahun 2004. Dan bahkan untuk melaksanakan UU tersebut telah pula ditetapkan beberapa Peraturan pelaksanaannya, diantaranya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Peraturan Presiden No. 1 Tahun 2007 Tentang Pengesahan, Pengundangan dan Penyebar Luasan Peraturan Perundang-undangan. Dapat juga kita lihat dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. M.01.HU.03.02.Th.2007 tentang Tata Cara Pengundangan dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan.  
      Berdasarkan hal tersebut diatas perlu diingatkan agar dalam pembentukan Perda, harus adanya sinergi antara UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

5.  Mekanisme dan Tahapan yang dilalui oleh DPRD Kabupaten Halmahera Tengah dalam proses Pembuatan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Halmahera Tengah
      
    Berdasarkan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Nomor: 188.4/04/DPRD/HT/2009 Tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Halmahera Tengah, dengan pertimbangan bahwa, untuk melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyarawatan/perwakilan, perlu mewujudkan lembaga Perwakilan Rakyat Daerah yang mampu mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi serta menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara, maka perlu menata Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk mengembangkan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, perlu mewujudkan lembaga Perwakilan Rakyat Daerah sebagai penyelenggaraan Pemerintahan besama-sama dengan Pemerintah Daerah yang mampu mengurus urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakt setempat berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
      Setiap anggota DPRD dapat mengajukan suatu usul prakarsa Ranperda yang secara substansial selaras dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dan secara prosedural memenuhi kaidah-kaidah legal drafting. Usul prakarsa kemudian disampaikan kepada pimpinan DPRD dalam bentuk Ranperda disertai penjelasan secara tertulis dan diberikan nomor pokok oleh Sekretariat DPRD. Usul prakrasa tersebut oleh pimpinan DPRD disampaikan kepada Badan Legislasi Daerah untuk dilakukan pengkajian, berdasarkan hasil pengkajian Badan Legislasi Daerah pimpinan DPRD menyampaikan kepada rapat paripurna DPRD.
      Dalam rapat paripurna, para pengusul diberikan kesempatan memberikan penjelasan atas usul sebagaimana yang telah diusulkan dalam bentuk Ranperda. Pembicaraan mengenai usul prakarsa dilakukan dengan memberi kesempatan kepada anggota DPRD lainnya untuk memberikan pandangan, dan para pengusul memberikan jawaban atas pandangan para anggota DPRD lainnya.
      Usul prakarsa sebelum diputuskan menjadi prakarsa DPRD, para pengusul berhak mengajukan perubahan dan atau mencabutnya kembali. Pembicaraan diakhiri dengan keputusan DPRD yang menerima atau menolak usul prakarsa menjadi prakarsa DPRD, tata cara pembahasan Ranperda atas prakarsa DPRD mengikuti ketentuan yang berlaku dalam pembahasan Ranperda atas prakarsa Kepala Daerah.
      Agar suatu Perda yang telah ditetapkan dapat berjalan dengan efektif, maka sebelumnya Perda tersebut disahkan, terlebih dahulu dilakukan uji publik tentang Ranperda tersebut untuk memperoleh masukan-masukan dari masyarakat dan juga seluruh stake holder.

Bagan tentang Mekanisme Usulan Rancangan Peraturan Daerah berdasarkan inisiatif DPRD Kabupaten Halmahera Tengah
5 orang anggota    DPRD usul prakarsa
Pimpinan DPRD
PANMUS
  Rapat Paripurna
Anggota DPRD  Pandangan 1
5 orang anggota Mengajukan Perubahan
 Kepala Daerah
Penjelasan Usul jawaban:
1. Pandangan
2. Pendapat Kepala Daerah


Keputusan DPRD Menolak atau menerima menjadi Prakarsa DPRD
Penyerahan
·   Komisi/Gab. Komisi
·   PANSUS

  (Sumber: Sekretariat DPRD Kabupaten Halmahera Tengah).
Keterangan:
      Apabila DPRD mengusulkan Rancangan Peraturan Daerah berdasarkan atas hak inisiatif DPRD, terlebih dahulu harus usulan dari anggoga DPRD, minimal terdiri dari 5 (lima) orang anggota DPRD yang memprakarsai usulan Rancangan Peraturan Daerah. Usulan tersebut disampaika kepada Pimpinan DPRD, kemudian dibentuk Panitia Musyawarah (Panmus).
     Apabila DPRD menggunakan hak inisiatif DPRD lalu kemudian ditolak oleh Pemerintah Daerah (Bupati), maka Perda tersebut diteliti dan dipelajari pada bagian mana yang merupakan catatan penolakan. Setelah dipelajari lalu kemudian diperbaiki kalau terkait dengan materi Perda, setelah itu diajukan lagi melalui mekanisme yang berlaku.
      Dalam proses pembahasan Ranperda idealnya harus melalui tahapan-tahapan yang telah ditentukan, namun dalam praktiknya ada tahapan yang tidak dilalui, misalnya dalam proses pembahasan Ranperda, setelah tahapan I, yaitu keterangan/penjelasan komisi/gabungan komisi/panitia khusus DPRD tentang Ranperda lalu masuk pada tahap II yaitu tanggap oleh lembaga eksekutif atau kepala daerah atas keterangan/penjelasan pada tahap I lalu setelah itu adalah pembahasan di internal DPRD atas tanggapan dari eksekutif. Tahapan inilah yang sering tidak dilalui dalam proses rancangan peraturan daerah, tahapan ini hanya dilalui khusus dalam pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).[25] 
      Setelah Ranperda disusun, kemudian diserahkan ke DPRD untuk dipelajari dan dibahas. Dalam pembahasan Ranperda memerlukan waktu yang cukup lama karena dibutuhkan ketelitian terhadap isi dari Ranperda tersebut, setelah Ranperda yang diajukan oleh eksekutif dipelajari oleh legislatif, kemudian DPRD mengundang eksekutif untuk dibahas bersama. Kemudian pada tahap terakhir adalah tahap pengesahan, dan diserahkan kepada Eksekutif untuk di tindaklanjuti.
      Pihak-pihak yang turut dilibatkan dalam Proses Rancangan Peraturan Daerah tergantung dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Contoh kalau pembahasan tentang pajak atau retribusi, berarti ada hubungannya dengan Dispenda, koperasi, keuangan dan bagian ekonomi semuanya dilibatka secara bersama.

Tahapan yang dilalui oleh DPRD Kabupaten Halmahera Tengah dalam proses Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Halmahera Tengah.

TAHAP
RAPERDA DARI DPRD
RAPERDA DARI PEMDA
Tahap I
(rapat paripurna)
Keterangan/penjelasan komisi/gabungan komisi/panitia khusus DPRD tentang Raperda
Keterangan/penjelasan Pemda tentang Raperda dari Pemda
Tahap II
(rapat gabungan komisi/pansus)
·           Tanggapan Pemda tentang Raperda dari DPRD
·           Jawaban komisi/gabungan komisi/pansus DPRD terhadap tanggapan Pemda
·         Pemandangan umum para anggota DPRD (melalui fraksi) terhadap raperda dari pemda
·         Jawaban pemda terhadap pemandangan umum dari anggota DPRD
Tahap III
rapat gabungan komisi/pansus
·         Pembahasan Raperda dalam komisi/Gabungan komisi/panitia khusus bersama Pemda
·         Pembahasan Ranperda secara interen dalam Komisi/gabungan Komisi/Pansus tanpa mengurangi pembahasan bersama Pemda
Tahap IV
(rapat paripurna)
·         Laporan hasil pembahasan tahap III
·         Pendapat akhir fraksi apabila perlu dapat disertai catatan
·         Pengambilan keputusan
·         Sambutan pemda
Sumber: Sekretariat DPRD Kabupaten Halmahera Tengah.
      
      Fungsi legislasi DPRD Kabupaten Halmahera Tengah hampir menjelang dua periode bisa dikatakan mati, karena tidak ada inisiatif Dewan untuk membuat Ranperda. Dari peraturan daerah yang dihasilkan, seluruhnya datang dari inisiatif eksekutif. Hal ini semakin diperkuat dengan temuan hasil wawancara dengan Bpk. Ismail Kabag. Hukum Pemkab Halteng yang menyatakan bahwa selama beliau menjabat sebagai Kabag. Hukum Pemeritah Kabupaten Halmahera Tengah dalam kurun waktu 10 tahun, belum pernah ada sebuah Perda yang berasal dari inisiatif DPRD Kabupaten Halteng.
      Banyak faktor mengapa DPRD belum pernah mengajukan hak inisiatif. Misalnya, sering kali terjadi perubahan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi daripada level Perda. Mau tidak mau perubahan itu harus ditindaklanjuti dengan Perda. Karena peraturan di atas sering berubah-ubah, yang lebih siap secara kelembagaan dan aparaturnya, ya, pihak eksekutif. Tapi otonomi daerah ditandai dengan adanya kebebasan membuat Perda berdasarkan kebutuhan dan kekhasan daerah. Inisiatif titik tekan kebutuhan dan kekhasan daerah itu mestinya datang dari DPRD. Tapi dalam hal ini mereka lemah.
      Peran DPRD dalam proses Pembangunan Daerah merupakan kebutuhan, dimana sala satu fugnsi DPRD adalah pengawasan. Oleh karena itu DPRD dapat melaksanakan tugas, wewenang dan hak-haknya secara efektif karena dari sisi kemitraan DPRD sejajar dengan lembaga Eksekutif dalam menyusun Anggaran, menyusun dan menetapkan berbagai Perda. Dari sisi control, DPRD melakukan pengawasan secara efektif terhadap Kepala Daerah dalam pelaksanaan APBD atau kebijakan publik yang telah ditetapkan.
      Optimalisasi peran DPRD ini tidak terlepas dari etika politik bagi anggota DPRD, agar pelaksanaan fungsi-fungsi anggaran, legislasi dan pengawasan dapat berlangsung secara etis dan profesional, baik dalam berbicara maupun bersikap atau bertindak, serta tidak melupakan posisinya sebagai wakil rakyat yang telah memilihnya.
      Secara kelembagaan DPRD harus benar-benar mampu berperan dalam arti mampu menggunakan hak-haknya secara tepat, melaksanakan tugas dan wewenangnya secara efektif dan menempatkan kedudukannya secara proporsional. DPRD harus mengontrol seluruh aktifitas Pemerintahan di Daerah agar sesuai dengan aspirasi masyarakat.
      Perda yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), maka Pemerintah Daerah (Pemda) bersama dengan anggota DPRD melakukan sosialisasi kepada masyarakat sehingga masyarakat juga tahu tentang Perda tersebut, dimana DPRD sebagai Lembaga Legislatif yang kedudukannya sebagai Wakil Rakyat tidak mungkin melepaskan dirinya dari kehidupan rakyat yang diwakilinya. Oleh karena itu secara material mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan kepada rakyat atau publik yang diwakilinya. Dengan demikian maka antara Legislatif dan Eksekutif terjalin komunikasi timbal balik dan adanya keterbukaan di antara para pihak dalam penyelesaian segala permasalahan dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Disinilah peran dan fungsi DPRD akan terjadi hubungan yang cukup signifikan dengan Pemerintah Daerah seiring dengan tujuan otonomisasi daerah.
      Untuk Kabupaten Halmahera tengah, terdapat Problematika yang dihadapi terkait dengan pembangunan hukum di daerah, yakni:
1.      Pembentukan Perda belum berdasarka Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
2.      Pembentukan Perda belum menampung kondisi khusus Daerah dan/atau ciri khas Daerah
3.      Kewenangan legislasi DPRD selama ini belum diikuti dengan alat kelengkapan yang memadai.
      Fungsi pengawasan DPRD merupakan salah satu fungsi manajemen untuk menjamin pelaksanaan kegiatan sesuai dengan kebijakan dan rencana yang telah ditetapkan serta memastikan tujuan dapat tercapai secara efektif dan efisien.
      Fungsi ini bermakna penting baik bagi Pemerintah Daerah maupun pelaksana pengawasan. Bagi Pemerintah Daerah, fungsi pengawasan merupakan suatu mekanisme peringatan dini (early warning system) untuk mengawal pelaksanaan aktifitas mencapai tujuan dan sasaran. Sedangkan bagi pelaksana pengawasan DPRD, fungsi pengawasan ini merupakan tugas mulia untuk memberikan telaah dan saran, berupa tindakan perbaikan. Maka apabila suatu Perda tidak berjalan sesuai dengan yang diinginkan, maka DPRD melakukan rapat kerja dengan instansi terkait, dan mempertanyakan hal tersebut, karena DPRD melaksanakan pengawasan dengan tujuan utama, antara lain:
1.      Menjamin agar Pemerintah Daerah berjalan sesuai dengan rencana;
2.      Menjamin kemungkinan tindakan koreksi yang cepat dan tepat terhadap penyimpangan dan penyelewengan yang ditemukan;
3.      Menumbuhkan motifasi, perbaikan, pengurangan, peniadaan penyimpangan;
4.      Meyakinkan bahwa kinerja Pemerintah Daerah sedang atau telah mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.
      DPRD Kabupaten Halmahera Tengah menyadari bahwa praktik Good Public Governance pada fungsi pengawasan saat ini masih membutuhkan beberapa perbaikan (Improvement) agar dapat mencapai tujuan yang kita harapkan bersama.
      Fungsi pengawasan dapat diselaraskan dengan tujuannya, antara lain dengan melakukan beberapa hal berikut:
1.      Memaknai secara benar fungsi dan tujuan pengawasan, sehingga dapat menjadi mekanisme check & balance yang efektif;
2.      Optimalisasi pengawasan agar dapat memberikan kontribusi yang diharapkan pada pengelolaan Pemerintahan Daerah;
3.      Penyusunan agenda pengawasan DPRD;
4.      Perumusan standar, sistem, dan prosedur baku pengawasan DPRD;
5.      Dibuatnya mekanisme yang efektif untuk partisipasi masyarakat dalam proses pengawasan dan saluran penyampaian informasi masyarakat dapat berfungsi efektif sebagai salah satu alat pengawasan.
     Dari temuan dilapangan berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Nurhayati Rais selaku Wakil Ketua DPRD Kabupaten Halmahera Tengah, pada tanggal 14 Juli 2010 Pkl. 20.05 WIT. Dalam wawancara tersebut ditanyakan tentang langkah awal yang dilakukan oleh DPRD dalam proses pembuatan Ranperda, lalu Wakil Ketua DPRD Kabupaten Halmahera Tengah menyatakan bahwa sebagai DPRD mereka selalu melakukan kunjungan ke daerah dimana mereka dipilih (Dapil), untuk meminta pendapat serta pandangan dari masyarakat, kunjungan ini dilakukan setiap empat bulan sekali.
     Adapun cara yang dilakukan untuk meminta pendapat serta pandangan dari masyarakat adalah dengan melalui musrembug desa, musrembug kecamatan atau dengan berdiskusi dengan masyarakat secara perorangan. Menurut beliau, mereka juga mengakui bahwa DPRD Halmahera Tengah belum mampu melakukan fungsi pengawasan dengan baik. Misalnya, terkadang Ranperda tentang anggaran yang telah disahkan menjadi Perda, itu kemudian oleh lembaga eksekutif diubah kembali secara sepihak tanpa sepengetahuan DPRD. Hal ini terjadi karena menurut Wakil Ketua DPRD Halmahera Tengah, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sangat membatasi kewenangan DPRD, UU tersebut dianggap telah mengebiri kewenangan DPRD, beliau mencontohkan, misalnya Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Bupati hanya berupa keterangan sehingga DPRD tidak dapat mangambil tindakan yang tegas. Ketika ditanyakan tentang langkah selanjutnya setelah Ranperda disahkan menjadi sebuah perda, idealnya Perda tersebut harus disosialisasikan terlebih dahulu, dan itupun harus dilakukan oleh DPRD bersama-sama dengan Pemerintah, tapi masalahnya DPRD tidak memiliki anggaran khusus untuk melakukan sosialisasi Perda sehingga selama ini sosialisasi Perda hanya dilakukan oleh Lembaga Eksekutif.[26]
      Dari pernyataan Wakil Ketua DPRD Kabupaten Halmahera Tengah di atas, seolah DPRD tidak memiliki kewenangan dan tidak berdaya, seharusnya dalam menjalankan tugas dan fungsinya, DPRD dapat mengacu pada UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD Pasal 349 ayat (1), bahwa DPRD Kabupaten/Kota mempunyai hak Interpelasi, hak Angket; dan Menyatakan pendapat.
     Sementara temuan berdasarkan hasil wawancara dengan Bpk. Abd. Rahim Odeyani selaku Ketua DPRD Kabupaten Halmahera Tengah, beliau ditanyakan tentang Tugas dan fungsi DPRD Kabupaten Halmahera Tengah. Menurut Ketua DPRD Kabupaten Halmahera Tengah, tugas dan fungsi DPRD Kabupaten Halmahera Tengah bukan hanya sebatas di lingkup Halmahera Tengah, tapi Tugas dan fungsi DPRD secara nasional dan secara menyeluruh adalah sama, sebagaimana diatur di dalam UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Lebih khusus lagi di dalam Peraturan DPRD Kabupaten Halmahera Tengah ada beberapa tambahan yang diabsur masuk dalam rangka penguatan kapasitas DPRD Kabupaten Halmahera Tengah.
      Mengenai peranan DPRD dalam pembangunan Kabupaten Halmahera Tengah, DPRD Kabupaten Halmahera Tengah hanya memiliki tugas yang bersifat normatif, yakni menyerap dan menghimpun aspirasi masyarakat kemudian bersama-sama dengan Pemerintah Daerah membahas, mengesahkan dan menetapkan Peraturan Daerah.
      DPRD melalui pembahasan-pembahasan anggaran kemudian mengawal seluruh proses kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam rangka pembangunan yang nantinya akan dirasakan oleh masyarakat Halmahera Tengah itu sendiri.
      Untuk saat ini tahapan yang baku dan berlaku di DPRD di seluruh indonesia ada empat sampai lima tahapan, yaitu:
1.      Pengajuan Ranperda yang berasal dari Pemerintah Daerah kepada DPRD kemudian DPRD akan mempelajari
2.      Melalui fraksi-fraksi menyampaikan pemandangan umum fraksi-fraksi atas pengajuan Ranperda yang disampaikan oleh Eksekutif
3.      Setelah melalui pemandangan umum fraksi-fraksi kemudian jawaban Bupati terhadap pemandangan umum fraksi-fraksi yang disampaikan dalam tahap kedua
4.      Rapat kerja antara DPRD dan tim Pemerintah Daerah untuk bersama-sama membahas Ranperda yang diajukan oleh eksekutif
5.      Pengesahan melalui kata akhir fraksi-fraksi dalam rangka menyetujui Ranperda yang telah dibahas bersama dengan Pemerintah Daerah, sebelum penetapan kemudian disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi. Setelah diajukan selama empat belas hari untuk evaluasi, kemudian dikembalikan ke DPRD Kabupaten untuk ditetapkan menjadi Perda.
     Sementara Dalam proses pembahasan Ranperda, menurut Ketua DPRD Kabupaten Halmahera Tengah, pihak-pihak lain tidak dilibatkan, akan tetapi dalam masa rancangan kemudian disosialisasikan kepada masyarakat, maka stake holder secara keseluruhan ikut di libatkan dalam rangka untuk mendengarkan aspirasi yang berkembang di masyarakat sesuai dengan semangat Ranperda yang akan dibahas. Misalnya, Ranperda tentang pembentukan Desa Sanafi, maka DPRD tidak secara langsung mengatur, mengubah dan/atau mengesahkan sebuah Desa. Pernah DPRD Kabupaten Halmahera Tengah membahas sembilan buah Ranperda tentang Pemekaran Desa, dan tim DPRD langsung turun ke lokasi akan dimekarkan untuk melakukan penjaringan aspirasi masyarakat (Asmara), dengan berdasarkan pada tinjauan sosiologis historis, luas wilayah, jumlah penduduk, infrastruktur dll, menurut beliau inilah hal-hal yang harus turut melibatkan masyarakat agar DPRD dapat memperoleh informasi dalam rangka Proses pembuatan Ranperda.
     Saat ditanyakan tentang mekanisme keterlibatan publik dalam proses pembuatan Ranperda, beliau menyatakan bahwa untuk Kabupaten Halmahera Tengah, tidak ada sebuah instrumen khusus yang mengatur tentang keterlibaatan publik dalam proses pembuatan Ranperda, karena dalam ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang dimaksud dengan keterlibatan publik hanya dalam hal-hal tertentu, dan tidak dalam proses pembahasan APBD.
     Untuk perencanaan pembangunan berjalan dari bawah, misalnya melalui Musrembang desa, musrembang kecamatan, dan musrembang kabupaten, ini melibatkan seluruh stake holder yang ada, dan DPRD dari masing-masing Daerah Pemilihan (Dapil) kembali ke Kecamatan untuk bersama-sama dengan Pemerintah setempat dalam rangka melakukan pembahasan Musrembang. Sedangkan untuk pembahasan anggarannya tidak melibatkan masyarakat, karena tidak ada aturan yang mengatur bahwa DPRD dan Pemerintah Daerah membahas APBD harus melibatkan masyarakat. Akan tetapi dalam perencanaan pembangunan yang akan menggunakan dana APBD maka masyarakat akan dilibatkan, namun masyarakat tidak dilibatkan dalam pembahasan.[27]
      Dalam kesempatan yang sama ketika ditanyakan tentang bagaimana tanggapan masyarakat Kabupaten Halmahera Tengah atas Ranperda yang telah disahkan menjadi Perda, beliau menyatakan bahwa untuk Perda yang selama ini dibahas oleh DPRD Kabupaten Halmahera Tengah, hingga saat ini belum pernah ada penolakan, hal ini karena nilai-nilai fagogoru (Rasa Persaudaraan dan kebersamaan) masih tetap menjadi pegangan dalam kehidupan masyarakat Halmahera Tengah, dengan tanpa mengabaikan Hukum dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
      Apabila sebuah Perda tidak dapat berjalan dengan efektif, maka DPRD akan melakukan evaluasi dan instropeksi, karena mungkin Perda tersebut tidak sesuai dengan semangat dan kultur masyarakat sehingga perlu untuk dilakukan revisi dan membenahinya kembali.
6.   Proses Pelembagaan Legislasi Daerah.
      Perlunya sebuah proses pelembagaan Legislasi Daerah oleh DPRD Kabupaten Halmahera Tengah, sehingga diharapkan memperoleh hasil yang lebih baik serta bisa diterima, dengan dilakukannya langkah-langkah yaitu:
1.      Menyepakati obyek atau lingkup yang menjadi agenda Legislasi Daerah. Dalam hal ini anggota dan perangkat DPRD perlu mencapai pemahaman bersama tentang lingkup legislasi yang hendak diagendakan dan pada tingkat mana yang hendak dilakukan. Untuk menjadikan lingkup legislasi tersebut sebagai aksi bersama, maka perlu dilakukan identifikasi terhadap obyek/masalah yang dimasukkan dalam agenda legislasi;
2.      Adanya jaringan yang akan dilibatkan dalam fungsi Legislasi. Langkah ini diambil setelah berbagai masalah dapat diidentifikasi dan disepakati. Jaringan yang terlibat sebaiknya didasarkan pada dampak, manfaat, pihak atau yang mewakili bersinggungan langsung dengan kepentingan tersebut;
3.      Pemetaan masalah yang perlu diagendakan. Tahap ini merupakan kelanjutan dari identifikasi masalah dan telah disepakati dengan pihak-pihak yang sudah teridentifikasi untuk dilibatkan, sehingga yang perlu dilakukan adalah mengukur pelaku yang dilibatkan dalam jaringan, pemahaman, kepentingan atau relevansinya dengan masalah yang menjadi agenda legislasi;
4.      Menyepakati proses Legislasi. Hal ini sudah memasuki rangkaian kegiatan yang bersifat teknis operasional, sehingga perlu disepakati antara DPRD dengan jaringan yang dibentuk untuk beberapa hal yang menyangkut apa saja yang diperlukan untuk kegiatan tersebut, bagaimana langkah-langkah yang harus ditempuh DPRD bersama jaringan tersebut, termasuk tata cara penyelesaian jika terjadi persoalan-persoalan yang membutuhkan penyikapan segera berdasarkan kesepakatan yang sudah dibuat. Bahkan kalau kesepakatan tersebut terfasilitasi melalui pertemuan publik, hal itu justru akan memberikan legitimasi baik bagi pihak DPRD maupun pelaku jaringan dalam melaksanakan fungsi legislasi;
5.      Penyiapan bahan/draft dan penyebaran informasi. Langkah ini dimaksudkan dapat memberikan informasi kepada publik dengan harapan akan memperoleh umpan balik dan dukungan publik untuk pelaksanaan fungsi legislasi. Informasi tersebut dapat disampaikan melalui media massa dan akses yang dimiliki jaringan yang ada.
      Selain faktor-faktor yang perlu diantisipasi untuk membangun jaringan dalam rangka pelaksanaan fungsi legislasi yang lebih efektif, beberapa hal juga perlu diperhatikan untuk menjalin hubungan antara partisipan dengan DPRD agar kinerja DPRD dalam pelaksanaan fungsi legislasi secara optimal dapat dicapai, yaitu:
a.       Membentuk komunitas di berbagai kalangan dan tingkatan. Kelompok atau forum inilah yang diharapkan dapat memberikan sinyal atau indikasi jika terjadi penyimpangan yang dilakukan lembaga Pemerintahan di Daerah;
b.      Mengadakan pertemuan-pertemuan rutin antara DPRD dengan kelompok jaringan atau lebih luas lagi dengan masyarakat baik dalam kunjungan kerja (formal) maupun pertemuan tidak formal untuk mendiskusikan berbagai permasalahan yang terjadi khususnya yang terkait dengan masalah yang sudah teragendakan;
c.       Menyiapkan dan membuat aturan main yang memungkinkan masyarakat/kelompok jaringan atau pihak lain dapat menyampaikan laporan, termasuk syarat untuk terpenuhinya dilakukan dengan pendapat umum (public hearing);
d.      Meningkatkan kerjasama dengan pihak terkait terutama dengan media massa, organisasi profesi, LSM, dan lain-lain.
      Ada beberapa hal yang mungkin menghambat harapan DPRD dengan membangun jaringan dengan masyarakat baik yang timbul dari dalam maupun luar DPRD. Oleh karena itu, perlu diantisipasi dan disiapkan solusinya, yaitu:
a.       Di satu sisi, jabatan keanggotaan DPRD ditentukan secara periodik, sehingga anggota DPRD mengalami keterbatasan waktu, jangkauan wilayah kerja, penguasaan substansi, sementara di sisi lain DPRD dituntut menanggung tugas dan fungsi yang cukup berat, salah satu fungsinya adalah di bidang legislasi, sehingga tidak menutup kemungkinan DPRD mengalami kesulitan menangkap dinamika kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Dengan demikian, DPRD harus membuka ruang dan waktu bagi masyarakat di sela-sela pelaksanaan tugas dan fungsinya untuk menyampaikan masukan, umpan balik, keberatan, bahkan gugatan dan tuntutan sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam rangka mengevaluasi kinerja DPRD dan Pemerintah Daerah. Langkah tersebut dapat mengatasi kesenjangan dan mengurangi protes sosial;
b.      DPRD akan menghadapi persoalan biaya yang cukup besar jika harus melakukan sendiri identifikasi masalah serta inventarisasi kebutuhan dan kepentingan masyarakat secara menyeluruh. Oleh karena itu, meningkatkan partisipasi masyarakat secara aktif akan dapat mengatasi persoalan biaya tersebut, karena masyarakat sendirilah yang akan menterjemahkan kebutuhan dan kepentingannya serta menyampaikannya kepada DPRD;
c.       Dalam pelaksanaannya tidak menutup kemungkinan bahwa anggota atau kelompok anggota DPRD cenderung mengutamakan kepentingan individu dan kelompoknya daripada kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, dalam tatanan demokrasi yang berciri pemilihan secara langsung terhadap wakil-wakil yang duduk di lembaga Legislatif maupun Eksekutif, kehadiran masyarakat dan lembaga-lembaga masyarakat sipil tidak bisa ditawar-tawar lagi, karena keberadaan mereka akan menjadi kekuatan penyeimbang untuk mewujudkan pengawasan yang memenuhi aspirasi masyarakat. Di bawah ini disajikan faktor-faktor yang perlu diperhatikan ketika membangun jaringan.
      Salah satu faktor mengapa DPRD Kabupaten Halmahera Tengah belum pernah mengajukan hak inisiatifnya adalah kurangnya perangkat daerah, namun saat ini DPRD dapat membentuk suatu perangkat yang disebut dengan Badan Legislasi Daerah dengan mengacu pada PP No. 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pasal 50, Badan legislasi Daerah bertugas menyusun rancangan program Legislasi Daerah yang memuat daftar urutan dan prioritas Ranperda beserta alasannya untuk setiap tahun anggaran dilingkungan DPRD, melakukan koordinasi untuk penyusunan program Legislasi Daerah antara DPRD dan Pemerintah Daerah, menyiapkan Ranperda usul DPRD berdasarkan program prioritas yang telah ditetapkan, melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Ranperda yang diajukan anggota, komisis dan/atau gabungan komisi sebelum Ranperda tersebut disampaikan kepada pimpinan DPRD.
      Badan Legislasi Daerah juga memberikan pertimbangan terhadap Ranperda yang diajukan oleh anggota, komisi dan/atau gabungan komisi, diluar prioritas Ranperda tahun berjalan atau diluar Ranperda yang terdaftar dalam program Legislasi Daerah, mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap pembahasan materi muatan Ranperda melalui koordinasi dengan komisi dan/atau panitia khusus, memberikan masukan kepada pimpinan DPRD atas Ranperda yang ditugaskan oleh Badan Musyawarah, dan membuat laporan kinerja dan inventarisasi masalah dibidang Perundang-undangan pada akhir masa keanggotaan DPRD.
7. Mekanisme dan Tahapan yang dilalui oleh Lembaga Eksekutif Kabupaten Halmahera Tengah dalam proses Pembuatan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Halmahera Tengah
       
    Dalam rangka perumusan Ranperda Kabupaten Halmahera Tengah, Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah mengeluarkan Peraturan Bupati Halmahera Tengah No. 14 Tahun 2008 tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Sekretariat Daerah Kabupaten Halmahera Tengah.
      Maka dilakukan penyusunan penjabaran Tupoksi Sekretariat Daerah Kabupaten Halmahera Tengah. Pengaturan tentang perangkat Pemerintah Daerah yang melaksanakan proses Ranperda diatur di dalam Pasal 18, bahwa bagian Hukum mempunyai tugas menyiapkan bahan, data dan informasi dalam rangka perumusan kebijakan teknis dan penyusunan Ranperda. Pasal 19, dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada Pasal 18, bagian Hukum menyelenggarakan fungsi:
a.       Pengumpulan bahan, data dan informasi perumusan kebijakan teknis bagian Hukum;
b.      Penyiapan dokumen Ranperda yang akan disampaikan ke Dewan;
c.       Penyusunan rencana kegiatan bagian Hukum;
d.      Pelaksanaan harmonisasi Perda dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi;
e.       Penilaian/pertimbangan atas pembuatan naskah dinas yang terkait dengan pembentukan Perda, Peraturan Bupati, Keputusan Bupati dan Keputusan yang disebut satuan kerja perangkat Daerah;
f.       Pengelolaan dan penyimpanan data unit kerja;
g.      Perekapan program dari masing-masing sub bagian;
h.      Pelaksanaan program dan kegiatan bidang Hukum;
i.        Pelaksanaan pelayanan administratif  kepada dinas daerah dan lembaga teknis daerah bidang penyelenggaraan Hukum;
j.        Pemberian pertimbangan penyelenggaraan pemerintahan dibidang Hukum;
k.      Evaluasi dan monitoring pelaksanaan Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk dengan Perda, Peraturan Bupati dan Keputusan Bupati;
l.        Penyampaian laporan unit
m.    Pelaksanaan tugas-tugas kedinasan lainnya yang diberikan oleh atasan.
Selanjutnya Pasal 21 menyebutkan bahwa, sub bagian pengkajian Peraturan Perundang-undangan mempunyai tugas menyiapkan bahan, data dan informasi dalam rangka perumusan kebijakan teknis dan penyusunan rencana kerja bidang pengkajian Peraturan Perundang-undangan.      Pasal 22, untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada pasal 21, sub bagian pengkajian Peraturan Perundang-undangan menyelenggarakan fungsi:
a.       Pengumpulan bahan, data dan informasi perumusan kebijakan teknis sub bagian pengkajian Peraturan Perundang-undangan;
b.      Penyusunan rencana kegiatan sub bagian pengkajian Peraturan Perundang-undangan
c.       Pengkajian data dan landasan hukum penyusunan produk Hukum Daerah;
d.      Pembuatan dan pemeriksaan konsep rancangan produk Hukum Daerah dari semua perangkat Daerah;
e.       Pengevaluasian pelaksanaan produk Hukum Haerah dan Peraturan Perundang-undangan;
f.       Pelaksanaan inventarisasi permasalahan bidang pengkajian Peraturan Perundang-undangan serta merumuskan langkah-langkah pemecahannya;
g.      Pelaksanaan evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan tugas;
h.      Pelaksanaan tugas-tugas kedinasan lainnya yang diberikan oleh atasan.[28]

Skema proses penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) oleh Lembaga Eksekutif Kabupaten Halmahera Tengah.
 
(1)   SKPD(Buat Rancangan)
(2) Bagian Hukum (penyusunan Perda)
(3) Tim Pembahasan Eksekutif (Pembahasan Internal)
(4) Bagian Hukum (perbaikan hasil Pembahasan)
(5) Penyampaian ke DPRD
Sumber: Jurnal Bagian Hukum Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Tengah.

Keterangan: 

(1). Sebelum dilakukan Ranperda, terlebih dahulu dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) membuat Rancangan.
(2). Setelah SKPD membuat Rancangan, kemudian diajukan ke bagian Hukum untuk dilakukan penyusunan Rancangan
(3). Setelah Rancangan disusun oleh Bagian Hukum, lalu diadakan pembahasan internal yang dilakukan oleh tim pembahasan Eksekutif
(4). Setelah melalui pembahasan internal Eksekutif, lalu dikembalikan ke bagian Hukum untuk diadakan perbaikan hasil pembahasan
(5). Seteleha diadakan perbaikan dari bagian Hukum, lalu Rancangan disampaikan ke DPRD.                                                                                   
     Berdasarkan hasil wawancara dengan Bpk. Ismail selaku Kabag. Hukum Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Tengah, dalam wawancara tersebut ditanyakan tentang apakah setiap Perda yang dibuat memuat tentang ketentuan pidana. Menurut beliau tidak semua Perda memiliki sangsi pidana, contohnya Perda tentang Desa tidak memuat tentang ketentuan pidana, dalam setiap Perda juga tidak harus memuat penjelasan, apabila masyarakat masih belum memahami tentang Perda yang diberlakukan, maka akan dilakukan klarifikasi atau penjelasan ulang kepada masyarakat.
     Ketika ditanyakan tentang keterlibatan publik dalam proses pembuatan Ranperda, beliau menyatakan bahwa masyarakat dalam proses pembuatan Ranperda dengan cara dilakukan musyawarah desa, setelah itu dibuat berita acara dan disampaikan kepada Bupati, lalu dari Bupati didisposisi ke Bagian Hukum untuk dilakukan proses penyusunan dan pembahasan.
     Mulai dari proses perencanaan Ranperda dilakukan dari bawah ke atas (botom up pleaning), karen apabila proses perencanaan dilakukan dengan cara dari atas kebawah (top down pleaning) biasanya tidak ada sinkronisasi antara proses perencanaan antara Pemerintah dengan masyarakat
      Menurut Bpk. Basri, salah satu staf Bagian Hukum Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah, ketika ditanya tentang langkah selanjutnya setelah pengesahan sebuah Perda. Menurutnya memang salah satu tupoksi dari bagian Hukum adalah mensosialisasikan Perda dan itu rutin dilakukan tiap tahun, namun dalam tahun ini belum dianggarkan dalam APBD sehingga dalam tahun ini Bagian Hukum belum pernah melakukan sosialisasi.
     Ketika ditanya tentang keterlibatan DPRD dalam melakukan sosialisasi sebuah Perda, beliau menyatakan bahwa DPRD tidak perlu melakukan sosialisasi karena DPRD hanya menyetujui Perda dan untuk pelaksanaan dilapangan cukup dilakukan oleh Pemda karena DPRD tidak memiliki Tupoksi sosialisasi. Sementara dalam tahap Ranperda belum dapat disosialisasikan, karena Perda tersebut belum pasti dan isi dalam pasal-pasalnyapun belum jelas apakah disetujui di DPRD ataukah tidak disetujui.[29]
      Dari temuan berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan di Lembaga Eksekutif, ditemukan adanya perbedaan pendapat di internal lembaga Eksekutif sendiri, sebagaimana pernyataan yang disampaikan oleh Kabag. Hukum serta salah satu stafnya, dan pernyataan yang disampaikan oleh Wakil Bupati Halmahera Tengah di bawah ini.
     Menurut Wakil Bupati Halmahera Tengah, dalam mensosialisasikan sebuah Perda yang telah disahkan memang seharusnya dulakukan oleh kedua lembaga, yakni Lembaga Legislatif dan Eksekutif. Namun selama ini sosialisasi Perda hanya dilakukan oleh Eksekutif, hal ini menurutnya karena kurang adanya komunikasi antara kedua Lembaga. Untuk Eksekutif sendiri, sosialisasi dilakukan oleh Bagian Hukum karena bagian Hukum yang memiliki kompeten dibidang Peraturan Perundang-undangan.
      Dalam pembahasan Ranperda, apalagi Ranperda tentang RAPBD menurut Wakil Bupati Halmahera Tengah, harus turut melibatkan masyarakat karena ini adalah uang masyarakat tapi ada versi lain mengatakan bahwa masyarakat tidak perlu dilibatkan karena ini bersifat rahasia, padahal walaupun dirahasiakan namun pada akhirnya masyarakat juga akan mengetahuinya[30]
 
Kesimpulan dan saran
a.      kesimpulan    
     Hubungan DPRD dengan jajaran Eksekutif Daerah Kabupaten Halmahera Tengah dalam proses Pembuatan Raperda belum berjalan secara harmonis karena berdasarkan hasil penelitian, bahwa Raperda yang dibahas selama dua periode adalah Raperda yang diajukan oleh Eksekutif, sehingga terkesan bahwa dalam pembuatan Raperda di Kabupaten Halmahera Tengah masih di dominasi oleh Eksekutif, sementara DPRD belum memaksimalkan hak dan fungsi legislasinya.
     Dalam proses pembuatan Raperda belum melalui tahapan serta mekanisme atau tata urutan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, hal ini terjadi misalnya dalam pembahasan Raperda yang seharusnya setelah adanya tanggapan dari lembaga eksekutif atau kepala daerah atas keterangan atau penjelasan pada tahap I, setelah itu adalah tahap pembahasan di internal DPRD atas tanggapan dari eksekutif, tahapan inilah yang selalu diabaikan.

b.      saran
1.      Bagi DPRD Kabupaten Halmahera Tengah agar segera membentuk sebuah Badan Legislasi yang nantinya dapat menyusun Program Legislasi Daerah, melakukan koordinasi dengan Pemerintah Daerah, serta menyiapkan rancangan peraturan daerah usul DPRD berdasarkan program prioritas yang telah ditetapkan. DPRD juga harus dapat menggunakan hak-haknya secara maksimal, terlebih lagi adalah hak inisiatifnya.
2.      Bagi Lembaga Eksekutif, agar selalu melakukan koordinasi dengan Legislatif, baik dalam proses Ranperda maupun perubahan Perda, serta sosialisasi Ranperda maupun Perda yang telah disahkan
3.       Untuk kedua lembaga (Eksekutif dan Legislatif) perlu membuat sebuah perda tentang keterlibatan masyarakat dalam Proses Pembuatan Ranperda, karena keterlibatan masyarakat adalah keharusan dalam berdemokrasi.

DAFTAR PUSTAKA

A.  LITERATUR
Jimly Asshiddiqie, 2009, Menuju Negara hukum yang demokratis, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.
Krishna D. Darumurti, 2003, Otonomi Daerah Perkembangan Pemikiran, Pengaturan dan Pelaksanaan, PT. Citra Aditya Bakti, cetakan ke II, Bandung.
Maria Farida Indrati S. 2003, Ilmu perundang-undangan 1, Kanisius, Yogyakarta.
Ni’matul Huda, 2010, Problematika Pembatalan Peraturan Daerah, FH UII PRESS, Cet Pertama. Yogyakarta.
B.     PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Peraturan Bupati Halmahera Tengah  Nomor 14 Tahun 2008 tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Sekretariat Daerah Kabupaten Halmahera Tengah.
C.    INTERNET
Boy Yendra Tamin, kemitraan legislative dan eksekutif dalam konteks pembuatan peraturan daerah. www. Google.com.
Sofyan Arif, Kinerja DPRD Dalam Melaksanakan Kekuasaan Legislasi, Study di DPRD Kota Malang, www.google.com. 27/07/2010.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=38,Disampaikan dalam  sambutan pada acara Temu Wicara Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Sistem Ketatanegaraan RI untuk Pimpinan dan Anggota ADEKSI, Kamis (7/6); di Jakarta. 2007.
Tag: DPRD, Fungsi DPRD, Kelengkapan Dewan, LEGISLASI, www.Legalitas.org, 15-02-2010.
Wicipto Setiadi, Proses pengharmonisasian sebagai upaya meningkatkan kualitas Peraturan Perundang-undangan, www.google.com.
Yusril Ihza Mahendra, Praktik ketatanegaraan kita ke depan, www.yusril.ihzamahendra.com.
Yusril Ihza Mahendra, Penguatan Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah: Sebuah Tinjauan Dari Segi Konstitusionalisme, 24 Februari 2010,  www.setneg.go.id.

Yance Arizona, Disparitas Pengujian Peraturan Daerah, www.legalitas.org, Desember 2007.

D.    SURAT KABAR
Lexy Armanjaya, Harian Umum sore, © Sinar Harapan, Jakarta 2003.



[1] Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara hukum yang demokratis, Bhuana ilmu populer, Jakarta, hlm.3.
[2] Yusril Ihza Mahendra, Praktik ketatanegaraan kita ke depan, www.yusril.ihzamahendra.com, 11-12-2009. 

[3] Ditulis dalam Kajian |Tag: DPRD, Fungsi DPRD, Kelengkapan Dewan, LEGISLASI, www.Legalitas.org, 15-02-2010
[4] Maria Farida Indrati S. Ilmu Perundang-undangan 1, Kanisius, Yogyakarta, 2007, hlm. 51
[5] Ibid, hlm. 53.
[6]Boy Yendra Tamin, Artikel, kemitraan legislative dan eksekutif dalam konteks pembuatan peraturan daerah. www. Google.com. 27-03-2010
[7] UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Pustaka Pelajar,  Cet-II  Yogyakarta, 2007 hlm. 4-5
[8]Ibid, hlm. 1
[9] Krishna D. Darumurti, CS, Otonomi Daerah perkembangan pemikiran, pengaturan dan pelaksanaan, PT.  Citra Aditya Bakti, cetakan ke II, Bandung 2003, hlm. 17
[10] http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=38,  Disampaikan dalam  sambutan pada acara Temu Wicara Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Sistem Ketatanegaraan RI untuk Pimpinan dan Anggota ADEKSI, Kamis (7/6); di Jakarta. 2007

[11] Lexy Armanjaya, Harian Umum sore, Jakarta, Sinar Harapan 2003.
[12] Wicipto Setiadi, Proses pengharmonisasian sebagai upaya meningkatkan kualitas Peraturan Perundang-undangan, www.google.com
[13] Yusril Ihza Mahendra, Penguatan Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah: Sebuah Tinjauan Dari Segi Konstitusionalisme, 24 Februari 2010,  www.setneg.go.id
[14] Gawi Abbas, Wakil Bupati Halmahera Tengah, Diwawancarai di kediamannya, 15 Juli, 2010, Pkl. 20:01:WIT
[15]Abd. Rahim Odeyani (Ketua DPRD Halteng), wawancara, 10 juli 2010. Pkl. 20:20:WIT
[16] Sofyan Arif, Kinerja DPRD Dalam Melaksanakan Kekuasaan Legislasi, Study di DPRD Kota Malang, www.google.com.27/07/2010
[17] Gawi Abbas, Wakil Bupati Halmahera Tengah, Diwawancarai di kediamannya, 15 Juli, 2010, 20:01:WIT
[18] Ni’matul Huda, Problematika Pembatalan Peraturan Daerah, FH UII PRESS, Cet Pertama, Juni 2010, hlm. 41
[19] Op.Cit
[20] Kabag. Hukum Pemda Halteng
[21] Nurhayati Rais, (Wakil Ketua DPRD Halmahera Tengah) Wawancara.
[22] Ismail, Kabag. Hukum Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Tengah (Wawancara), 16 Juli, Pkl. 10.30 WIT.
[23] Gawi Abbas, Wakil Bupati Halmahera Tengah, Diwawancarai di kediamannya, 15 Juli, 2010, 20:01:WIT
[24] Op-Cit
[25] Nurhayati Rais, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Halmahera Tengah (Wawancara).
[26] Nurhayati Rais, Wakil Ketua DPRD Kab. Halmahera Tengah, (Wawancara)
[27] Abd. Rahim Odeyani, Ketua DPRD Kab. Halmahera Tengah (Wawancara)
[28] Bagian organisasi, Peraturan Bupati Halmahera Tengah  Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Sekretariat Daerah Kabupaten Halmahera Tengah.
[29] Basri, (Staf Bag. Hukum) Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah, (Wawancara) 29 Juni, Pkl. 11.00 WIT.
[30] Gawi Abbas, (Wakil Bupati Halmahera Tengah) wawancara, 15 Juli 2010, Pkl. 20:01 WIT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar